Halaman

Jumat, 20 November 2009

Jangan Polemikkan Hindu Versi India dan Versi Bali


Jangan Polemikkan Hindu Versi India dan Versi Bali
A.A. Ayu Raka Parwati

Pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur di zaman reformasi semua kehidupan bernegara di Nusantara ini mendapat kebebasan, termasuk dalam kehidupan beragama. Perkembangan agama Hindu di Nusantara ini semakin pesat lagi, plus diakuinya berbagai aliran yang bernapaskan Hindu, seperti Sai Baba, Hare Krisnha dan bentuk-bentuk Sampradaya lainnya. Di samping itu juga agama Hindu sudah berani tampil dengan jati diri kedaerahannya, seperti Hindu Jawa, Tengger, Badui atau Banten, Lampung, Toraja dan sebagainya, termasuk Hindu Bali.

Nah, jika kita berbicara tentang masalah Adat Bali, maka kita akan terfokus pada orang sebagai pelaksana adat Bali (baca orang Hindu Bali) dan aturan-aturan yang mengatur tentang adat Bali (awig-awig).
Arti kata ”Bali” itu yang berasal dari kata ”wali” yang dalam istilah Bali diartikan sebagai banten, sesajen atau upakara yang berkaitan dengan persembahan terhadap Hyang Widhi. Jadi kata Bali itu sendiri sesuai arti harafiahnya dapat berarti banten atau dalam istilah Hindu disebut yadnya. Sedangkan kata wali itu dalam istilah Panca Yadnya yang kita kenal di Bali digolongkan dalam Dewa Yadnya (?). Dalam kaitan ini pula sering kita dengar istilah Pujawali, Panca Wali Krama dan sebagainya yang semuanya berkaitan dengan Dewa yadnya.

Secara awam penulis selaku orang Bali asli yang terlahir dan dibesarkan di Bali, dengan bermodalkan kupasan istilah ”Bali" itu saja, penulis berani untuk menjawab, bahwa Bali itu identik dengan Hindu. Belum lagi kalau kita beberkan tentang adat Bali dengan segala macam aturannya (baca awig-awig) yang semuanya nota bene adalah memperkuat sendi-sendi agama Hindu di Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, khususnya Hindu Bali.

Kalau kita lihat polemik yang berkembang belakangan pada era global saat ini yang serba efisien dan multiteknologi,semua merasa diri paling benar. Maaf, bagi umat sedharma yang baru membuka-buka kitab suci Weda, kemudian latah mau mengusik kekhusukan umat Hindu Bali yang mempunyai kekhasan tersendiri yang diwariskan secara turun temurun sebagai adat budaya yang adiluhung. Sebagai umat Hindu yang mau memperdalam ilmu Weda-nya, memang itu sangat diharapkan untuk proses perkembangan dan kebangkitan agama Hindu ke depan secara universal. Tetapi kalau boleh jangan sampai menggiring adat-istiadat yang sudah kita warisi dari leluhur kita ke arah kiblat negara asalnya Weda (India).

Nenek moyang kita super canggih, filterisasi budayanya canggih dari zaman teknologi saat ini, yang bisanya hanya jiplak dan ikut-ikutan serba coba-coba ilmu teknologi, bukan sebagai pencipta ilmu teknologi.

Kalau kita merasa umat sedharma, kenapa kita saling cela sesama umat sedharma? Yang vegetarian mencela teman seumatnya bagai raksasa pemakan daging. Sampai-sampai sesajen atau korban suci yang memakai binatang pun disalahkan. Kenapa baru sekarang semuanya dipermasalahkan? Bercerminlah ke belakang pada perjalanan perkembangan sejarah agama Hindu di Nusantara, khususnya Hindu Bali yang begitu teramat unik di Nusantara.

Mana Lebih Boros, Buat Banten atau Tirthayatra ke India

Belakangan ini Hindu Bali dihujat habis-habisan oleh sentana (penerus atau keturunan) orang Bali sendiri yang berlabelkan Hindu versi Weda ke India-Indiaan. Sesajen, banten, upakara atau upacara-upacara di Bali digugat semuanya, sebagai pemborosan serta pemiskinan secara material ekonomi dan sebagainya. Kalau kita mau bercermin pada diri sendiri, maka eloknya jangan saling mencela. Marilah kita tatap perkembangan Hindu universal di masa mendatang, mau di kemanakan warisan leluhur adat Bali (baca Hindu Bali) dibawa? Pura yang sudah berabad-abad berdiri kokoh mau ditinggalkan, kemudian tidak memakai sesajen karena dalih pemborosan atau pun tidak sesuai dengan ajaran Weda. Lantas umat kita diajak berbondong-bondong bertirthayatra ke India dan sekitarnya.Tidakkah perlu modal biaya besar untuk berthirtayatra ke India?

Sesajen ditiadakan, pura ditinggalkan, apalagi sampai ngaben dianggap boros, lantas uang ditabung hanya untuk thirtayatra. Pastilah leluhur nenek moyang arang Hindu Bali akan merintih meratapi sentana-nya yang berbondong-bondong berthirtayatra ke sana ke mari dengan meninggalkan segala bentuk persembahan-persembahan dan peninggalan-peniinggalan adiluhung warisan nenek moyang.

Marilah kita bersatu kalau mau agama Hindu maju, jangan saling menyalahkan saudara seumat. Yang mau Hindu Weda monggo, silahkan, tapi jangan menggugat Hindu Bali. Berjalanlah sesuai karma bhaktinya masing-masing, semuanya akan kembali kepada cermin atau jati diri sendiri dan kembali kepadaNYA (baca Tat Twam Asi). Yang tidak sesuai dengan desa-kala-patra pastilah akan tereleminasi dengan sendirinya dalam perjalanan sejarah. Apalagi dibarengi dengan SDM umat sedharma kita yang semakin canggih, maka sebodoh-bodohnya nenek moyang kita akan ajaran-ajaran Weda, tetapi peninggalan-peninggalan Hindu dan vibrasi religiusitas kehinduannya yang berupa Iontar-Lontar, naskah-naskah, pustaka-pustaka suci kuno, candi-candi Hindu termegah di Asia Tenggara. Pura Besakih terbesar di Asia Tenggara dan seabrek peninggalan-peninggalan archaeologi yang bernapaskan Hindu masih sangat dihargai oleh dunia. Diagungkan dan dikeramatkan lagi dengan dihidupkannya peninggalan-peninggalan tersebut sebagai tempat-tempat ibadah umat Hindu.

Sekali pun saat ini penulis ada di perantauan sana (pernah di Timor Timur sebelum Iepas dari NKRI) sekarang berdomisili di Alas, Sumbawa Besar - Nusa Tenggara Barat, tetapi penulis sangat fanatik dalam pengamalan agama Hindu (bukan otoritas etnis Bali-nya) melainkan dalam pengertian ”wali” nya sesuai uraian di atas. Penulis kurang merasa sreg kalau beryadnya tanpa sesajen, apalagi di mana-mana merantau ada pura dan sarana untuk mendukung membuat sesajen masih tersedia di sekitar kita, maka nuansa Hindu Bli pun akan terasa khidmat dan kental seperti di Bali. Sekalipun berhari raya besar, seperti Nyepi, hari Galungan dan sebagainya di perantauan, tapi tidak sedikit pun mengurangi penghayatan kita pada Hyang Widhi dan agama Hindu Bali.

Sejak era tahun 80-an saat sampradaya-sampradaya seperti Sai Baba dan Hare Krishna dikibaskan di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya, sampradaya-sampradaya ini masih beraktifitas secara sembunyi-sembunyi, karena pemerintah resmi saat itu tidak mengakui keberadaannya. Pernah saat itu penulis saksikan sendiri, mungkin sampradaya tertentu sedang melakukan puja mantram di atas bukit-bukit di tengah-tengah hutan belantara kebun raya Bedugul, Bali. Karena kebetulan saat di bangku kuliah penulis juga aktifis Mapala Universitas Udayana yang pada saat itu sedang menjelajani hutan di Bali Utara. Walaupun saat ini sampradaya-sampradaya itu telah bebas bernapas, kenapa mesti menggugat saudara sendiri yang mewarisi budaya Hindu Bali. Kalau kita semua merasa sebagai intelektual Hindu khususnya dari etnis Bali, menggugat Hindu Bali dengan sudut pandang Hindu India versi Weda, maka sampai kapan pun tidak akan pernah menyatu dalam praktiknya. Hal ini disebabkan oleh karena cara-cara dan sumber aslinya kitab suci sudah berbeda.

Di era tahun 90 - an cendikiawan-cendikiawan Hindu etnis Bali yang ada di perantauan ramai-ramai menggugat sistem kasta di Bali, sama hebohnya dengan polemik PDHB dan PHDI Pusat saat ini. Sama hebohnya menggugat Hindu Bali versi PDHB dengan ciri khas Wali sesuai dengan ide-ide yang dikumandangkan oleh si penggagas PDHB (baca Raditya Edisi 116, Maret 2007, hal 8-9) dengan Hindu versi India yang bersumber pada Weda asli India.

Memang kasta bertentangan dengan Weda dan tak ada dalam weda, namun apa yang terjadi dilihat dalam praktiknya 10 tahun perjalanan Hindu di Bali, sistem wangsa di Bali masih tetap eksis, karena saling keterkaitan dengan adat-istiadat Bali sebagai penyangga agama Hindu di Bali. Selain itu juga karena wangsa di Bali tidak bisa terlepas dengan keberadaan pura-pura besar sampai pura-pura kecil yang berwujud Merajan, Taksu. Kalau ada yang menggugat sistem wangsa di Bali, maka sama halnya mempunyai ide-ide untuk membulduser pura-Pura di Bali, yang hampir seluruh pura di Bali termasuk Pura Besakih merupakan perwujudan tempat-tempat suci yang berbau soroh, klen dan sejenisnya. Coba direnungkan, kita murni Hindu Bali etnis Bali, bukan dari etnis India. Sekali pun asal Hindu pertama kalinya dari India, tetapi budaya Bali tidak idem dengan budaya India, kendati sama-sama penganut Hindu.

Sesuai dengan tema tulisan ini, penulis bukan bermaksud membawa misi PDHB, melainkan murni bermaksud membuka wawasan cakrawala cendikiawan-cendikiawan Hindu yang dengan gigih memper-juangkan visi misi Hindu Universal. Tidak ada yang salah dalam hal ini di era reformasi global, silahkan berkibar sesuai dengan visi misi kehinduannya asal tidak saling menggugat. Bukankah tindakan saling mencela, saling menghujat merupakan praktik adharma? Marilah kita saling introspeksi diri (hayati Bhineksa Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa). Bagaimana kita bisa ikut berperan mengajegkan Bali atau mengajegkan Hindu Bali kalau kiblatnya ke Hindu India. Ibarat rebutan tulang tanpa isi (baca megarang balung tanpa isi), berpolemik tiada henti-hentinya.

Penulis ikut miris menyaksikan adegan drama elit - elit cendikiawan Hindu yang duduk di PIDI Pusat maupun yang berseberangan prinsip. Hentikan polemik di tingkat elit, kasihan umat Hindu kita yang masih awam akan semakin kebingungan menyaksikan adegan elit-elit Hindu di atas.

(Penulis adalah Alumnus Archaeologi (Efigrafi) Universitas Udayana. Berdomisili di Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat).

Sumber : hindu-raditya.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makasih dah mau komen