Kamis, 28 Oktober 2010
TES SEBAGAI ALAT PENILAIAN HASIL DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR
BUMI SEBAGAI TEMPAT TINGGAL MANUSIA
HABITAT MANUSIA
Geografi memandang bumi sebagai habitat manusia yaitu tempat tinggalmanusia. Habitat ini terdiri atas bingkai alami (physical setting) dan bingkai insani (human setting atau cultural setting). jelas bahwa geografi tak hanya mempelejari aspek-aspek alami dari bumi saja, akan tetapi juga aspek-aspek manusiawi, baik yang bercorak politis,ekonomis,sosiologis,politis kultural dan religius.Semua gejala manusiawi itu di pelajarinya dengan latar belakang lingkungan alam.
Sebenarnya yang ditempati oleh manusia sebagai tempat tinggal di permukaan bumi secara relatif lebih tipis dari pada kulit telur. Dari permukaan kulit itu ia dapat masuk ke dalam kulit (kegiatan pertambangan),dan dapat keluar (kegiatan penerbangan)serta dapat pula menyelami lautan. Permukaan bumi termasuk udara di atasnya, air samudra dan bagian di dalam bumi sejauh masih memungkinkan manusia hidup, itulah yang menjadi habitat manusia.
Habitat manusia itu terbentuk oleh koeksistensi (yakni beradanya secara berdampingan) berbagai unsur alam seperti iklim, tanah, air, batu, tanaman, hewan serta interelasi unsur –unsur tersebut.Unsur- unsur alam di pedesaan yang mendukung kehidupan manusiajumlahnya lebih banyak dari pada yang terdapat diwilayah perkotaan.Karna manusia kota tidak langsung dari koeksistensi dan interelasi unsur alam- alam itu.Karna teknologi modern telah membuat lingkungan buatan bagi manusia.
BERTEMPAT TINGGAL DAN ADAPTASI
Di dalam geografi, bertempat tinggal berarti pula melakukun adaptasi dengan lingkungan alam. Makin aktif adaptasi manusia makin lestari ia bertempat tinggal di wilayah itu; sebaliknya makin pasif adaptasinya, makin cenderung ia meningalkan wilayah tersebut.
Adaptasi manusia untuk mampu sedenter yakni menetap berupa mata pencaharian, pakaiannya, perumahannya, peralatannya dan sebagainya.Bahkan harta budaya manusia baik yang jenis materiil maupun yang rohani, sebenarnya merupakan merupakan hasil adaptasi belaka dalam arti luas.Harta budaya rohani seperti kebudayaan,adat –istiadat, kesenian dan kesusastraan juga merupakan hasil adaptasi terhadap alam.
GEOGRAFI BUDAYA
Aliran cultural geography mengutamakan telaah atas aneka bentuk karya manusia di permukaan bumi sebagai wilayah.Namun,BRYAN berpendapat bahwa perbedaan antara wilayah yang satu dengan yang lainnya itu berupa perbedaan cultural landscapenya yaitu bentang alam budayanya.
Di dalam bentang alam budaya ditemukannya empat aspek sebagai berikut:
1 benuk bentuk struktural seperti tanah garapan, permukiman, pertambangan, serta pabrik.
2 Sarana sarana pemindahanmanusia dan barang.
3 Proses proseskhusus,misalnya dalam kegiatan pertanian, industri dan trasportasi.
4 Hasil hasil kegiatan manusia yang misalnya berupa persediaan pangan, komoditi, kesehatan penduduk, dan pemerintahan yang baik.
Jadi dengan demikiandapatlah dikatakan bahwa bentang alam budaya itu merupakan berbagai bentuk konkrit dari adaptasi manusia terhadap lingkungan alamnya.Disebut demikian karena itu jelas bertalian lebih erat dengan usaha manusia untuk mengubah alamdari pada yang bertalian dengan pengaruh alam atas kehidupan manusia.
Menurut TAYLOR aneka karya manusia sebagaimana diperincikan di atas belumlah seluas apa yang di sebut faktor manusia.Ini meliputi pula idiologi dan tehnologi yang di pakai manusia sebagai senjata mengubah natur menjadi kultur sehingga terciptalah wujud kenampakan fisik dari wilayah yang di huninya.
KONSEP TUT WURI HANDAYANI
Ing ngarsa sung tulada, artinya adalah sebagai pemimpin pada top level management manapun seyogyanya mampu memberi contoh yang baik (sebagai teladan). Ing madya mangun karsa, bahwa siapapun pemimpin itu dia adalah middle manager. Artinya apabila mau berfikir dan bertindak harus konsisten, siapa pun pemimpin itu pasti memiliki atasan. Dengan demikian sebagai pemimpin jika ingin berhasil dianjurkan untuk dapat membentuk, memperhatikan, memelihara, dan menjaga kehendak dan keperluan atasannya serta bahannya secara seimbang.
Tut wuri handayani, sebagai pemimpin kita harus mampu mengasuh bawahan dengan baik, bukan memanjakan tetapi justru memberikan arahan dan rasa aman.
Meskipun ketiga ajaran ini ditemukan untuk keperluan mendidik, sehingga saat ini digunakan sebagai slogan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Namun kiranya cukup aktual untuk diterapkan dalam sebuah leadership atau kepemimpinan. Kepemimpinan adalah perpaduan yang unik antara pemimpin, sahabat, dan guru. Untuk menegakkan kepercayaan, pemimpin harus mampu menunjukan bahwa ia mempunyai kelebihan dibanding yang lain. Pemimpin harus berdiri di depan atau berada ditempat teratas untuk memberi instruksi kepada bawahannya. Namun, pemimpin yang berada di depan terlalu jauh dan terlalu lama akan membosankan bagi pengikutnya. Jadi, pemimpin harus di depan tetapi tidak terlalu jauh. Pemimpin ternyata tidak cukup harus di depan. Management modern mengajarkan mita untuk membangun tim kerja yang memberdayakan tim kerja.
Sistem pendidikan Indonesia mengenal adanya tiga asas-asas pendidikan. Asas yang pertama adalah asas Tut Wuri Handayani (berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti ‘Jika di belakang mengawasi dengan awas’). Asas pendidikan yang kedua adalah asas ‘Belajar Sepanjang Hayat;’ sedang asas yang terakhir adalah asas ‘Kemandirian dalam Belajar.’
2.1 Asas Tut Wuri Handayani
Pertama kali dicetuskan oleh tokoh sentral pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro, pada medio 1922, semboyan Tut Wuri Handayani merupakan satu dari tujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa. Dalam asas Perguruan Nasional Taman Siswa, semboyan Tut Wuri Handayani termaktub dalam butir pertama yang berbunyi, “Setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam peri kehidupan.”
Dari kutipan tersebut kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tujuan dari pembelajaran ala Taman Siswa – dan pendidikan di Indonesia pada umumnya – adalah menciptakan “kehidupan yang tertib dan damai (Tata dan Tenteram, Orde on Vrede)” (Tirharahardja, 1994: 119). Dalam perkembangan selanjutnya, Perguruan Taman Siswa menggunakan asas tersebut untuk melegitimasi tekad mereka untuk mengubah sistem pendidikan model lama – yang cenderung bersifat paksaan, perintah, dan hukuman – dengan “Sistem Among” khas ala Perguruan Taman Siswa.
Sistem Among berkeyakinan bahwa guru adalah “pamong.” Sesuai dengan semboyan Tut Wuri Handayani di atas, maka pamong atau guru di sini lebih cenderung menjadi navigator peserta didik yang “diberi kesempatan untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa” (Tirtarahardja, 1994: 120).
Jika menilik Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, seperti apa yang tercantum dalam Undang-undang Nomer 23 Tahun 2003, maka konsep Tut Wuri Handayani termanifestasi ke dalam sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Peran guru dalam sistem KTSP lebih cenderung sebagai pemberi dorongan karena adanya pergeseran paradigma pengajaran dan pembelajaran, dari “teacher oriented” kepada “student oriented.”
Dalam KTSP, guru bukan lagi sekedar “penceramah” melainkan pemberi dorongan, pengawas, dan pengarah kinerja para peserta didik. Dengan sistem kurikulum yang terbaru ini, para pendidik (guru) diharapkan mampu melejitkan semangat atau motivasi peserta didiknya. Hal ini lantaran proses pengajaran dan pembelajaran hanya akan berjalan lancar, efektif dan efisien manakala ada semangat yang kuat dari para peserta didik untuk mengembangkan dirinya melalui pendidikan. Maka bukan tidak mungkin, jika KTSP juga merupakan wujud manifestasi dari asas pendidikan Indonesia “Kemandirian dalam Belajar.”
2.2 Asas Belajar sepanjang Hayat
Mungkin inilah agenda besar pendidikan di Indonesia, yakni manusia Indonesia yang belajar sepanjang hayat. Konsep belajar sepanjang hayat sendiri telah didefinisikan dengan sangat baik oleh UNESCO Institute for Education, lembaga di bawah naungan PBB yang terkonsentrasi dengan urusan pendidikan. Belajar sepanjang hayat merupakan pendidikan yang harus (1) meliputi seluruh hidup setiap individu, (2) mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis, (3) tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri setiap indiviu, dan (5) mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi (Cropley, 1970: 2-3, Sulo Lipu La Sulo, 1990: 25-26, dalam Tirtarahardja, 1994: 121).
Jika diterapkan dalam sistem pendidikan yang berlaku saat ini, maka pendekatan yang sangat mungkin digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah melalui pendekatan “Pembalajaran dan Pengajaran Kontekstual.” Sedang dalam konteks pendidikan di Indonesia, konsep “Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual” sedikit banyak telah termanifestasi ke dalam sistem Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Selain KTSP – yang notabene merupakan bagian dari pendidikan formal, maka Asas Belajar sepanjang Hayat juga termanifestasi dalam program pendidikan non-formal, seperti program pemberantasa buta aksara untuk warga Indonesia yang telah berusia lanjut, dan juga program pendidikan informal, seperti hubungan sosial dalam masyarakat dan keluarga tentunya.
2.3 Asas Kemandirian dalam Belajar
Keberadaan Asas Kemandirian dalam Belajar memang satu jalur dengan apa yang menjadi agenda besar dari Asas Tut Wuri Handayani, yakni memberikan para peserta didik kesempatan untuk “berjalan sendiri.” Inti dari istilah “berjalan sendiri” tentunya sama dengan konsep dari “mandiri” yang dalam Asas Kemandirian dalam Belajar bermakna “menghindari campur tangan guru namun (guru juga harus) selalu siap untuk ulur tangan apabila diperlukan” (Tirtarahardja, 1994: 123).
Kurikulum KTSP tentunya sangat membantu dalam agenda mewujudkan Asas Kemandirian dalam Belajar. Prof. Dr. Umar Tirtarahardja (1994) lebih lanjut mengemukakan bahwa dalam Asas Kemandirian dalam Belajar, guru tidak hanya sebagai pemberi dorongan, namun juga fasilitator, penyampai informasi, dan organisator (Tirtarahardja, 1994: 123). Oleh karena itu, wujud manifestasi Asas Kemandirian dalam Belajar bukan hanya dalam berbentuk kurikulum KTSP, namun juga dalam bentuk ko-kurikuler dan ekstra kurikuler – sedang dalam lingkup perguruan tinggi terwujud dalam kegiatan tatap muka dan kegiatan terstruktur dan mandiri.
Dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” Elanie B. Johnson (2009) berpendapat bahwa dalam Pembelajaran Mandiri, seorang guru yang berfaham “Pembalajaran dan Pengajaran Kontekstual” dituntut untuk mampu menjadi mentor dan guru ‘privat’ (Johnson, 2009: 177). Sebagai mentor, guru yang hendak mewujudkan kemandirian peserta didik diharapkan mampu memberikan pengalaman yang membantu kepada siswa mandiri untuk menemukan cara menghubungkan sekolah dengan pengalaman dan pengetahuan mereka sebelumnya. Sebagai seorang guru ‘privat,’ seorang guru biasanya akan memantau siswa dalam belajar dan sesekali menyela proses belajar mereka untuk membenarkan, menuntun, dan member instruksi mendalam (Johnson, 2009).
Lebih lanjut Johnson mengungkapkan bahwa kelak jika proses belajar mandiri berjalan dengan baik, maka para peserta didik akan mampu membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari (Johnson, 2009: 179). Dengan kata lain, proses belajar mandiri atau Asas Kemandirian dalam Belajar akan mampu menggiring manusia untuk tetap “Belajar sepanjang Hayatnya.”
Minggu, 24 Oktober 2010
Runtuhnya Teori Invasi Bangsa Arya
Jika kita mencoba mencari padanan kata "Aryan" dalam kamus New Oxford Dictionary maka disebutkan bahwa Aryan berarti; "a member of a people speaking an Indo-European language who invaded northern India in the 2nd millennium bc, displacing the Dravidian and other aboriginal peoples". Sebuah teori umum yang sudah terlanjur dijadikan sebagai kebenaran oleh masyarakat manusia. Implikasinya, kaum akademisi dan masyarakat umum juga memahami ajaran Hindu secara keliru. Mereka beranggapan bahwa bahasa Sansekerta dan kitab-kitab Hindu seperti Rg. Veda tidaklah benar-benar dikodifikasi oleh Maha Rsi Vyasa di wilayah Industan (India) sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci Veda itu sendiri. Melainkan mereka berpandangan bahwa kitab suci Hindu, terutama sekali Rg. Veda dibawa dari daerah Jerman ke India oleh bangsa Indojerman (Arya) yang melakukan invasi dan mengalahkan bangsa Dravida. Hampir semua kalangan menganggap teori ini adalah teori yang memiliki kebenaran mutlak. Bagaimana tidak, semua buku-buku sejarah yang diajarkan di bangku-bangku sekolah telah mencekoli semua kalangan dengan teori ini. Rezim Nazi yang didirikan Hittler juga diindikasikan menggunakan semangat dari teori ini untuk melakukan invasi dan pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi. Mereka juga menggunakan lambang sakral Swastika dalam setiap atribut dan benderanya.
Munculnya teori invasi bangsa Arya atas Dravida ini pada awalnya dicetuskan oleh Max Muller, seorang sarjana Sansekerta kelahiran Jerman yang mengabdikan hidupnya pada Universitas Oxford di Inggris. Bertepatan pada masa kolonialisme Inggris di India, Max Muller dibayar dengan harga tinggi (4 pounsterling per halaman) untuk menterjemahkan kitab-kitab suci Veda kedalam bahasa Inggris oleh pemerintah Inggris. Sebagai seorang penganut Kristen yang taat, tentunya dia melakukan penterjemahan terhadap veda dengan diboncengi motif tersembunyi. Ia juga bergabung dalam perkumpulan para Indologis yang diwadahi oleh organisasi yang disebut Royal Asiatic Society dimana misi dari organisasi ini adalah untuk melakukan Kristenisasi di India.
Max Muller menemukan beberapa sloka-sloka Veda yang mengatakan kata "Arya". Sayangnya ia memahami kata Arya ini dengan pemahaman yang keliru, yaitu dengan menyebut Arya sebagai sebuah bangsa/suku. Sebagaimana disampaikan oleh Deen, gagasan tentang teori Penyerangan bangsa Arya yang berawal dari pandangan Max Muller ini ternyata bukanlah semata-mata kesalahan hasil penelitian, melainkan kospirasi politik yang sengaja ditiupkan pada masa itu untuk kepentingan kolonial Inggris.
…..the idea of the Aryan invasion was certainly not a matter of misguided research, but was a conspiracy to distribute deliberate misinformation that was formulated on april 10, 1866 in london at a secret meeting held in the Royal Asiatic Society. This was "to induct the theory of aryan invasion of India, so that no Indian may say that English are foriegners…….. India was ruled all along by outsider and so the country must remain a slave under the benigh Cristian rule. "This was a political move and this theory was put to solid use in all school and collage.
Jadi pada dasarnya, teori linguistik yang diadopsi oleh penguasa kolonial demi mempertahankan kekuasaan mereka, untuk juga memperlancar konversi orang Hindu menjadi Kristen, sebagaimana yang dituliskan Muller dalam suratnya kepada Istrinya; "Terjemahan edisi ini dan Weda lainnya akan menentukan nasib India kelak dan perkembangan jutaan roh yang lahir di negara ini. Inilah akar kepercayaan mereka, dan aku yakin hanya dengan cara ini akar kepercayaan yang tertanam selama tiga ribu tahun itu dapat dicabut. Kita hanya memerlukan waktu 200 tahun untuk mengkristenisasi Afrika, tetapi meski sudah berlangsung 400 tahun, kita belum berhasil mengubah India. Untuk mewujudkan hal yang serupa, saya mempelajari bahasa Sansekerta." (The life and Letters of Right Honorable Friedrich Max Muller, Vol.I.p,346).
Ironisnya, kenapa sebagian besar buku-buku pelajaran Hindu terutama sekali di Indonesia juga menuliskan teori ini sebagai sebuah kebenaran? Mereka lebih mempercayai uaraian Veda yang disampaikan oleh orang-orang Barat yang berlindung dibalik kata "ilmiah" dari pada mempercayai sejarah Veda menurut Veda itu sendiri.
Sebagian masyarakat Hindu tidak bisa menerima pernyataan Veda yang menyatakan dirinya diajarkan dan disebarkan melalui tradisi lisan yaitu proses mendengar (sruti) dan mengingat (smrti) berdasarkan jalur parampara secara bersamaan dengan terciptanya alam semesta material. Veda sudah dengan sangat jelas menyatakan bahwa ia dikodifikasi pada permulaan Kali-Yuga sekitar 6000 tahun yang lalu inkarnasi Tuhan, Sri Narayana dibidang sastra yaitu Krishna Dvaipayana Vyasa agar bisa dipelajari dan dimengerti oleh orang-orang jaman Kali. Namun kenapa orang-orang yang katanya saja penganut Veda begitu dungu sehingga mengingkari pernyataan Veda ini? Bhagavata Purana 1.4.17-25 dengan jelas sudah menyatakan hal ini dengan menyebutkan;
"Sang Rishi mulia yang berpengetahuan penuh, dengan penglihatan rohaninya bisa melihat merosotnya segala sesuatu yang material karena pengaruh buruk Kali-Yuga …… Beliau juga melihat orang-orang yang tidak percaya (pada Veda) jadi pendek usia dan mereka tidak penyabar karena kurang memiliki sifat-sifat bajik …… Untuk menyederhanakan proses (belajar Veda), beliau membagi Veda yang satu (Yajur Veda) itu menjadi 4 bagian untuk diajarkan diantara manusia …. Demikianlah, Rishi Paila menjadi sarjana Rg-Veda, Rishi Jaimini menjadi sarjana Sama-Veda, Rishi Vaisampayana menjadi akhli Yajur-Veda dan Sumantu Muni dipercayakan mengajar Atharva-Veda. Mereka mengajarkan bagian-bagian Veda itu kepada para muridnya masing-masing ….. Kemudian karena kasihan (kepada orang-orang kurang cerdas), Vyasa menyusun Mahabharata agar para wanita, sudra dan dvija-bandhu bisa mencapai tujuan hidup tertinggi".
Lebih ironisnya lagi, malahan ada anggapan bahwa Max Muller yang menterjemahkan Veda dan menyebarkan teori palsu malah diagung-agungkan sebagai salah satu Sad Guru yang dihormati yang dianggap berjasa sebagai pembaharu Hindu.
Jika kita mengacu pada kosa kata bahasa Sansekerta yang benar, kata "arya" berarti orang yang terpelajar atau terhormat. Sama sekali tidak ada indikasi yang menyatakan bahwa istilah arya mengacu kepada suatu ras atau bangsa tertentu. Dalam Catur Veda sendiri istilah Arya hanya disebutkan sebanyak 60 kali dan kesemuanya mengacu pada istilah orang yang terpelajar dan terhormat. Veda sendiri menyatakan dengan jelas bahwa Veda dikodifikasikan di daerah Aryavarta atau Bharatavarsha yang dikatakan daerah yang memiliki 7 aliran sungai. Veda tidak pernah menyinggung bahwa dia dikodifikasikan di daerah lain. Colin Renfrew, seorang arkeolog Inggris sendiri dengan tegas mengatakan; "Sejauh yang telah aku lihat, tidak satupun mantra Rg. Veda yang menggambarkan bahwa Veda membicarakan suatu penyerangan suatu bangsa ke daerah tertentu… Tidak satupun hal yang menguatkan bahwa Arya adalah pendatang".
Penggalian arkelogi yang sistematis dilakukan pertama kali pada tahun 1921 untuk menggali peninggalan kota Harappa di sekitar sungai Ravi (Daya Ram Sahni, Rakhaldas Banerjee). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan yang berkembang di sana paling tidak sudah berlangsung sejak 4-2500 SM. Hasil penggalian ini juga menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada bukti jejak peninggalan bangsa Dravida dalam kebudayaan Harappa, yang artinya sama sekali tidak ada bukti bahwa bangsa Arya datang menyerang kota Harappa dan mengusi bangsa Dravida dari sana.
Peninggalan arkeologi yang jauh lebih tua dan paling sering disebutkan dalam literatur Veda akhirnya ditemukan di sepanjang aliran sungai Sarasvati yang saat ini sudah mengering dan hanya dapat diamati dari luar angkasa melalui satelit. Sebab dari mengeringnya sungai Sarasvati adalah karena habisnya gletser yang menjadi pasokan utama aliran sungai Sarasvati yang terletak di pegunungan Himalaya. Bukti-bukti arkeologi memperhitungkan bahwa sungai Sarasvati sudah mengering sekitar 2.200-10.000 tahun SM akibat terjadinya perubahan iklim yang mengarah pada pemanasan permukaan Bumi. Beberapa mantram-mantram Rg. Veda yang mengagung-angungkan keberadaan sungai Sarasvati ini adalah antara lain pada mantram VI.61.13, VI.61.8 dan VII.95.1. Setidaknya dari keterkaitan dengan keberadaan sungai Sarasvati dan pujian-pujian mantra-mantra Rg. Veda ini sudah merupakan bukti yang sangat kuat yang membantahkan anggapan yang menyatakan Rg. Veda dibawa dari daerah Eropa oleh bangsa nomaden Indojerman yang disebut-sebut sebagai bangsa Arya. Ditambah lagi dengan adanya sloka Mahabharata yang menyatakan bahwa sungai Sarasvati menghilang di suatu gurun, sehingga logikanya jaman kodifikasi Veda juga berlangsung pada tahun-tahun mengeringnya sungai Sarasvati ini.
Kekeliruan teori invasi hasil konspirasi ini sudah diakui dan dipublikasikan oleh BBC London yang dimuat 30 September 2005. Mereka dengan jelas menyatakan bahwa teori kontroversial yang hanya berdasarkan pada pembenaran linguistik dan adanya dua jenis warna kulit bangsa India yang sudah terlanjur dianggap benar hasil ciptaan F. Max Muller pada tahun 1848 yang telah mendistorsikan sejarah Hindu akhirnya mendapat sanggahan dan tumbang setelah 120 tahun.
Kenoyer, seorang sejarawan juga menguatkan pernyataan bahwa Rg. Veda benar-benar ditulis di sekitar sungai Sarasvati di wilayah India dengan mengatakan; "Di timur, sungai Sarasvati purba mengalir secara paralel ke sungai Indus. Saat berakhirnya peradaban lembah sungai Indus, sungai Sarasvati sudah kering secara total. Banyak kisah Rg. Veda mengambil tempat di daerah sungai suci Sarasvati ini".
- Varun M Deshpande, Invation that never was (an article)
- Stephen Knapp, Death of the Aryan Invasion Theory (an article)