Halaman

Sabtu, 31 Oktober 2009

kajian

A. Pengertian Konversi Agama

Pertama-tama mari kita definisikan apa yang kita maksud dengan konversi. Secara etimologis, konversi berasal dari kata “conversio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya dalam kosakata Inggris, kata tersebut dipakai (conversion) dengan pengertian berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke keadaan atau agama yang lain. Jadi, konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah pendirian terkait ajaran agama atau bisa juga berarti masuk agama. Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. Starbuck memetakan konversi agama kedalam dua tipe: (1) tipe volisional atau perubahan bertahap; dan (2) tipe self-surrender atau perubahan secara drastis. Mari kita segera secara jelas membedakan antara konversi atau perubahan keyakinan- keyakinan yang terjadi dalam suatu pertukaran kemanusiaan dalam suatu diskusi yang bebas dan terbuka yang bertolak belakang dengan mengorganisasikan usaha- usaha pengkonversian yang menggunakan keuangan, media atau bahkan tekanan bersenjata. Bahwa pribadi-pribadi tertentu bisa saja mempengaruhi pribadi-pribadi lainnya untuk menerima suatu keyakinan agama atau yang lain telah jarang menjadi masalah. Semestinya ada diskusi dan debat yang terbuka dan bersahabat tentang agama seperti halnya dengan ilmu pengetahuan. Namun ketika satu agama menciptakan suatu program pengkonversian dan memobilisasi sumber- sumber daya besar untuk tujuan itu, dengan sasaran kelompok-kelompok tanpa prasangka, miskin atau tidak terorganisasi, itu bukan lagi sebuah diskusi yang bebas. Itu adalah penyerangan ideologi. Itu adalah sebuah bentuk dari kekerasan agama dan tiadanya toleransi. Dari uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa pengertian konversi agama adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku kesistem kepercayaan yang lain.

Usaha-usaha konversi yang terorganisasi adalah sama sekali hal yang berbeda dari pada dialog umum dan pertukaran antara para anggota dari komunitas- komunitas keagamaan yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari, atau bahkan dari pada diskusi-diskusi yang terorganisasi dalam forum-forum atau lingkungan-lingkungan akademis. Aktifitas konversi yang terorganisasi adalah seperti tentara terlatih menyerbu suatu negara dari luar. Tentara misionaris ini kerap kali masuk kedalam kelompok-kelompok di mana ada sedikit penolakan terorganisasi terhadapnya, atau bahkan mungkin tidak sadar akan kekuatan atau tujuan-tujuannya. Ia bahkan akan mengambil keuntungan dari komunitas-komunitas yang toleran dan memiliki pemikiran terbuka tentang agama dan menggunakannya untuk mempromosikan program misionaris yang menghancurkan toleransi ini.
B. Faktor-faktor penyebab Konversi Agama
               Penido (dalam Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur:
a. Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.

b. Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.
               Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang manjadi pendorong konversi (Motivasi konversi). James dan Heirich (dalam Ramayulis, 2002), banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut menurut pendapat dari para ahli yang terlibat dalam berbagai disiplin ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama di sebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang merekatekuni.
               Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok. Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama karena pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:

a. Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain).
b. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri upacara keagamaan.
c. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, famili dan sebagainya.
d. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu pendorong konversi agama.
e. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.

f. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa).
               Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram.

C. Keadaan Umat Hindu

Konversi agama atau mengalih agamakan atau mengubah agama atau kepercayaan seseorang saat ini merupakan sesuatu yang lumrah, yang sering kita dengar bahkan mungkin sudah terjadi dilingkungan kita masing-masing. Konversi agama ini tidak salah, jika dilakukan secara wajar, atau seseorang mau merubah keyakinannya atas dasar kemauan atau kesadaran dirinya. Namun yang menjadi masalah adalah jika konversi agama tersebut dilakukan dengan cara kekerasan, dengan ancaman dan menjelek-jelekkan agama atau kepercayaan orang lain, terlepas dari apakah hal yang mereka jelek-jelekkan benar adanya.

Dalam kasus ini, kita sebagai umat hindu sudah tidak dapat menutup mata lagi dari fenomena tersebut. Kita sebagai umat hindu sudah waktunya untuk sadar diri, bahwa hal tersebut juga telah merembet dan terjadi didalam agama hindu. Agama hindu merupakan salah satu tujuan dari para misionaris untuk menambah jumlah pengikut mereka. Sudah banyak umat hindu yang terkena rayuan manis para misionaris untuk meninggalkan agama dan kepercayaan yang telah lama dianut oleh leluhur mereka. Inilah yang menjadi tugas kita sebagai umat hindu untuk mengurangi dan mencegah terjadinya hal yang lebih parah dimasa mendatang.

Kembali kepada persoalan mudahnya unmat hindu untuk diajak berganti keyakinan, sepenuhnya bukan salah pribadi individu tersebut. Hal ini seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga untuk melakukan introspeksi diri, melihat kedalam diri, sebenarnya apa yang salah dari pelaksanaan praktik keagamaan kita. Karena tidak hanya di Indonesia, masalah konversi agama dari agama hindu ke agama diluar hindu juga terjadi didaerah yang menjadi induk agama hindu sedunia. India sebagai pusat agama hindu didunia juga mengalami masalah yang sama peliknya dengan masalah yang terjadi di Indonesia. Ada banyak sebab sehingga banyak umat hindu dengan mudahnya berganti keyakinan, diantaranya karena masalah ekonomi, kurangnya pembinaan terutama bagi para generasi mudanya, rendahnya pemahaman umat tentang agamanya, rasa malu sebagai orang yang beragama hindu dan masih banyak lagi yang lainnya. Melalui kebodohan dan kemiskinan, orang-orang kelahiran hindu menerima “agama baru” dalamrangka mendapat makanan dimeja makan dimalam hari atau untuk mendapat akses kesekolah untuk anak-anaknya, atau kerumah sakit untuk penanganan kesehatan, untuk mendapat kualifikasi pekerjaan atau promosi, untuk menjaga tanahnya dari penyitaan atau keluarganya dari penyiksaan. Semua itu adalah bagian dari konversi dengan kekuatan polotik atau kelicikan. Ini bukanlah hanya bagian sejarah, ini berlanjut hingga sekarang. Ini adalah sesuatu yang perlu mendapat perhatian serius dariorang hindu.

Konversi sering menjadi titik perdebatan antara agama. Semestinya tidak perlu seperti itu, jika semua pemimpin agama mau menghormati agama lain. Secara sejarah, Kristen dan islam selalu mencari jalan untuk mengkonversi umat hindu dari semua sekte. Kristen dan islam melakukan konversi karena mereka percaya bahwa agama mereka adalah agama sejati diplanet ini. Hindu tidak marah kepada orang Kristen atau muslim yang melakukan konversi, karena tahu bahwa predator selalu mengincar mangsa yang paling lemah. Persatuan Hindu Sedunia setuju bahwa pendidikan agama terhadap kaum harijan, anak-anak muda yang tercerai-berai dan orang dewasa yang hilang karena pergerakan dinamis umat hindu dari era pertanian menjadi era teknologi.

Kini umat hindu dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya dihadapkan pada satu pertanyaan besar, “Benarkah agama dan orang hindu merupakan sasaran yang sangat mudah untuk dirubah agama dan keyakinannya?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus rajin dan jeli melihat kedalam diri, bagaimana sebenarnya keadaan umat hindu belakangan ini. Dalam pembahasan ini yang diambil hanya keadaan dan kasus yang khusus terjadi di Indonesia, dengan mengambil perbandingan dari Negara lain. Hal tersebut dikarenakan keadaanumat hindu di Indonesia dianggap dapat mewakili keadaan umat hindu dunia.

Di Indonesia, jumlah penduduk yang beragama hindu sangat sedikit, yaitu hanya sekitar 2% dari total sekitar 250 juta penduduk Indonesia. Dari jumlah yang hanya sekitar 2% tersebut ditamabah lagi dengan tingkat buta huruf yang tinggi, dapat dibayangkan apa yang akan tejadi. Kurangnya pemahaman akan konsep ajaran agama membuat banyak dari umat hindu sendiri tidak mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya agamanya tesebut. Hal ini ditambah lagi dengan keadaan ekonomi yang serba kekurangan, serta kurangnya perhatian dari pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah para penyuluh agama atau dharma duta, membuat keadaan umat hindu di Indonesia semakin memprihatinkan. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh para misionaris atau penyebar misi untuk menambah jumlah pengikut mereka. Dengan iming-imimng bantuan ekonomi, pemberdayaan sumber daya manusia ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman agama oleh umat hindu, maka dengan mudah para misionaris tersebut menjaring para pengikut baru.

D. Motifasi Dibalik Konversi
               Apakah motifasi dibalik kegiatan-kegiatan misionaris? Mengapa seseorang mesti hendak mengubah yang lain ke dalam keyakinan agamanya? Dalam dunia yang beraneka ragam, seperti halnya di mana kita tinggal, ada banyak jenis kebudayaan, seni, bahasa, bisnis dan agama yang menyumbang banyak terhadap kekayaan suatu masyarakat. Mengapa kita mesti menuntut setiap orang menjadi seperti kita dalam segala hal, termasuk agama? Bukankah keaneka ragaman ini benar-benar suatu keindahan dari kebudayaan dan warisan lebih penting dari kemanusiaan kita?
               Jelaslah misionaris yang mencoba mengkonversi mesti percaya bahwa orang-orang lain tidak dapat mencapai tujuan hidupnya dengan agama lain apapun selain yang ia sebarkan. Jika tidak mestinya tidak perlu untuk mengkonversi setiap orang. Dan umumnya, misionaris tidak hanya mengumumkan bahwa ia memiliki sesuatu yang baik atau lebih baik, seperti seseorang yang menemukan bola lampu yang lebih baik. Ia biasanya mengklaim bahwa agamanya adalah satu satunya keyakinan yang benar dan yang lain apakah lebih rendah, ketinggalan jaman, atau singkatnya salah.
               Seseorang dapat mendebat karenanya bahwa mentalitas konversi adalah pada hakekatnya tanpa toleransi. Kalau saya mengakui bahwa banyak agama adalah baik dan keyakinan agama mestinya mencapai tujuan dengan bebas dan tanpa gangguan, maka saya tidak akan membuat sebuah organisasi besar untuk mengkonversi orang-orang lain ke keyakinan saya dan mendorong mereka melepaskan apa yang telah dimilikinya. Hanya ideologi keagamaan yang tanpa toleransi dan eksklusif memerlukan konversi atau mendanainya dalam skala besar.
               Singkatnya aktifitas konversi adalah anti-sekuler. Ia tidak mentoleransi perbedaan-perbedaan agama yang harus ada dalam sebuah masyarakat yang benar- benar sekuler melainkan mengarah ke penghapusan mereka. Ironisnya adalah bahwa hukum sekuler memberikan kemerdekaan agama yang mebiarkan aktifitas konversi terus berlangsung. Misionaris yang suatu saat menggunakan tentara penjajah untuk mempromosikan agenda-agenda konversi mereka sekarang mempertahankan mereka setelah jaman penjajahan dibawah penyamaran kemerdekaan agama. Kelompok yang menghindari atau membatasi kebebasan agama ketika ia berkuasa pada jaman penjajahan, sekarang menggunakan kebebasan agama untuk mempertahankan misionaris-misionaris yang sama itu berlangsung! Ini ironis sekaligus tidak jujur!
               Umumnya, upaya-upaya misionaris adalah lebih kuat hingga tingkatan bahwa misionaris menentang agama-agama yang mana orang-orang telah menganutnya. Strategi lama Kristen yang dominan, yang mana kelompok-kelompok protestan masih mempromosikannya, adalah untuk merendahkan keyakinan bukan-Alkitab sebagai barbar, atau buatan setan. Misionaris-misionaris evangelis masih mengidentikkan agama Hindu dengan persembahan setan. Pat Robertson dan Jerry Falwell, dua dari pemimpin-pemimpin evangelis Amerika yang paling berpengaruh mengatakan ini berulang-ulang, seperti halnya para pengikutnya, dan mereka mensponsori kegiatan misionaris di India juga. Secara alamiah ini memberikan misionaris banyak keteguhan dan intensitas, menyelamatkan jiwa-jiwa dari cengkeraman kejahatan dan mengusir setan-setan. 
               Misionaris yang demikian menggebu tak terhindarkan menyebarkan salah pengertian, racun dan kebencian dalam masyarakat. Kalau saya mempromosikan ide bahwa agama anda adalah karya setan, dapatkah saya dianggap sebagai seorang teman atau yang mengharapkan kebaikan pada komunitas anda? Dapatkah pandangan-pandangan seperti itu menolong komunitas anda untuk memahami diri sendiri atau mengharmoniskan kembali perbedaan-perbedaan komunitas?
               Saat ini adalah melanggar hukum di sebagian besar negara-negara untuk mempromosikan kebencian rasial, untuk memanggil seseorang dari ras apapun lebih rendah atau ciptaan setan (yang mana Kristen kulit putih gunakan untuk memanggil orang-orang hitam hingga baru-baru ini). Namun orang-orang Hindu masih tetap dapat direndahkan sebagai politeis, penyembah patung dan penyembah setan. Ini dibiarkan dibawah kebebasan agama, meskipun ini jelas-jelas menimbulkan ketidak percayaan, jika bukan kebencian dan ia sendiri penuh prasangka. Pernyataan-pernyataan penuh prasangka yang tidak dibolehkan tentang ras diijinkan tentang agama, dan misionaris umumnya menerapkan pernyataan- pernyataan merendahkan ini.
               Kenyataannya sebagian besar orang-orang Kristen memandang agama Hindu seperti agama-agama pagan yang mana orang-orang Kristen awal harus atasi, orang-orang Romawi, Yunani, Celtic, Mesir dan agama-agama Babilonia, yang memang banyak memiliki kesamaan dengan Hindu. Menyamakan orang-orang Hindu dengan penyembah patung menurut Alkitab menimbulkan sejarah agresi misionaris dan konflik keagamaan. Kebanyakan orang-orang Kristen seperti itu tidak pernah secara serius atau dengan pikiran terbuka mempelajari agama Hindu atau keyakinan-keyakinan pagan yang lain. Mereka hanya sedikit mengerti Yoga dan Vedanta atau tradisi-tradisi besar spiritual Hindu dan Buddha. Mereka lebih memilih untuk menyoroti persembahan Hindu terhadap Tuhan bahkan dalam bentuk-bentuk hewan seperti Hanuman sebagai bentuk tahayul atau kegelapan.
               Gereja Katolik sedikit lebih diplomatis saat ini. Ia sekarang memberi tahu orang-orang Hindu bahwa agama mereka mungkin memiliki suatu nilai tapi Kristen bahkan lebih baik! Pandangan seperti itu sedikit lebih toleran namun tidak dapat juga dikatakan tulus. Jika orang-orang Katolik tidak lagi percaya bahwa Hindu adalah sebuah agama setan, seperti promosi mereka sampai baru-baru ini, mereka semestinya meminta maaf pada orang-orang Hindu untuk opini-opini salah mereka dan masalah-masalah yang mestinya disebabkan oleh hal-hal tersebut.
               Orang-orang Hindu yang peka hanya bisa melihat terhadap Katolik setelah jaman penjajahan yang lebih toleran sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan keunggulan gereja pada jaman yang secara politis kurang menguntungkan. Orang- orang Katolik mengatakan mereka menghargai filosofi-filosofi spiritual india, yang mana mereka selama berabad-abad terlewat untuk mengenalinya, namun tetap merasakan perlu untuk mengkonversi orang-orang Hindu ke agama mereka. Penghargaan semacam apakah itu?
E. Cara Untuk Mengatasi
               Dalam penutup tulisannya, “does Hinduism teach that all religions are the same?” (website Sulekha)Dr. Frank Gaetano Morales, Ph.D mengatakan:setiap kali seorang hindu mendukung universalisme radikal, dan secara bombastic memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama hindu yang dia katakana dia cintai. Menolak keunikan dan kebesaran agama hindu membawa, pada gilirannya, kepada keadaan psikologis tidak sehat dari kebencian diri, satu perasaan tidak berharga dan satu kebingungan schizophrenic pada siapapun yang ingin menganggap diri mereka hindu. Efek dari komplek rendah diri yang melemahkan ini, disertai dari kekurangan klarifikasi filosofis, yang merupakan hasil pengaruh mencemarkan dari universalisme radikal adalah alas an-alasan utama mengapa para orang tua hindu menemukan anak-anak mereka sangat sering kurang minat yang dalam terhadap agama hindu dan, dalam banyak kasus, bahkan membuang agama hindu untuk masuk agama yang kelihatannya lebih rasional dan agama-agama yang kurang menolak diri-sendiri (self-abnegating). Siapakah, pada akhirnya, yang ingin mengikuti satu agama di dalam mana dinyatakan bahwabasis utama dari agama itu adalah merayakan atau memuliakan kebesaran dari agama-agama lain atas biaya dari agamanya (agama hindu) sendiri? Jawabannya adalah tidak seorangpun.
               Bila kita ingin menjamin bahwa kaum mudakita tetap setia kepada agama hindu sebagai satu jalan yang penuh makna, yang para pemimpin kita mengajarkan agama hindu didalam satu cara yang mereprentasikan tradisi itu secara otentik dan dengan bermartabat, dan yang masyarakat hindu yang lebih besar dapat merasakan bahwa mereka memiliki satu agama yang mereka sungguh-sungguh dapat merasa bangga didalamnya, maka kita harus membuang universalusme radikal. Bilakita ingin agama hindu tetap hidup sehingga ia dapat terus membawa harapan, makna dan pencerahan kepada generasi-generasi mendatang yang tak terbatas, maka lain kali ketika putra atau putrid kita bertanya kepada kita mengenai apa sesungguhnya agama hindu itu, janganlah kita mengulang seperti budak kepada mereka “semua agama adalah sama”. Sebaliknya hendaklah kita melihat kedalam mata mereka, ajari mereka tradisi kita yang secara unik sangat berharga, yang menyayangi secara indah, dan secara filosofis adalah kebenaran-kebenaran yang telah bertanggung jawab menjaga agama hindu sebagai kekuatan agama yang penuh semangat untuk selam lebih dari 5000 tahun. Marilah kita ajari mereka sanathana dharma, jalan abadi menuju kebenaran. “Kesamenisme” adalah sekutu alamiah misionaris. Buanglah “kesamenisme” bila kita ingin hindu tetap ajeg.
               Hindu memberikan rujukan (sesuluh) dalam memaknai kemajemukan tersebut. Dalam Atharvaveda, XII.1 .45 dinyatakan: “Beberapa pengucapan bahasa yang berbedabeda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia. Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat manusia”.
               Terungkap juga dalam Veda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat melihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dan kesedihan” (Yayurveda,40.7).
               Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan bahwa manusia hidup di lingkungan masyarakat majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan. Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan. Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia. Kemajemukan tidak untuk dipertentangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan dan keindahan, bukan kekacauan atau kesemrawutan. Spiritualitas kearifan ini dalam din manusia, adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika spiritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan, maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan. Adalah sangat arif pula para pendiri bangsa dan NKRI ini menetapkan nilai-nilai budaya yang adiluhung sebagai moto menyikapi kemajemukan bangsa Indonesia yakni, Bhinneka Tunggal Ika.
               Dengan landasan berpikir dan pola tindakan tersebut kita mampu mewujudkan kedamaian dan keharmonisan hidup dalam suasana kemajemukan. Agar proses tersebut berjalan lancar dalam kelangsungan hidup, komunikasi harus terjadi dengan sehat. Dapat saling berapresiasi satu sama lainnya sehingga menimbulkan tenggang rasa dan lapang dada dalam memahami dan menyadari perbedaan.

Jika hal teresbut dapat kita ciptakan, maka gilinan benikutnya adalah bagaimana kita menyoisalisasikannya. Perlu juga disosialisasikan nilai-nilai universal antara lain:
1. Berlaku Adil. Jangan sampai karena berbeda agama ideologi, ras, atau suku bangsa membuat kita berlaku tidak adil satu sama lain.

2. Berlaku jujur. Sebagai pemeluk agama kita harus jujur pada siapa saja dan di mana saja.
3. Sopan Santun. Dalam pergaulan tidak mengenal dmnding pembatas, karena sopan santun adalah satu di antara ajaran agama yang bersifat universal.
4. Tolong Menolong. Ini merupakan suatu kebaikan dan semua agama mengajarkan pemeluknya senantiasa tolong-menolong dálam kebaikan sebagai bagian dari sikap toleransi.
5. Jangan saling Bermusuhan. Tiap manusia hendaknya jangan saling membenci, saling menghasut dan belakang-membelakangi, agar terwujud hidup rukun, bersahabat dan tidak saling bermusuhan. 
               Dengan memahami nilai-nilai universal tersebut, maka sudah waktunya merekonstruksi pemikmnan kita terhadap keberagaman dan kemasyarakatan selama ini. Yang terkesan simbolik atau basa-basi harus segera ditinggalkan, karena pada gilirannya akan menimbulkan sifat hipokrit atau munafik sosial. Sikap dan sifat arogansi kelompok, golongan, lebih dikenal dengan istilah diktator mayoritas dan tirani minoritas harus dikubur sedalam-dalamnya, karena akan mengancam masyarakat yang bertoleransi. Dengan bahasa sederhanaa kita hanus berani menekonstruksi pemikinan kita bahwa “Sesama kita adalah bersaudara. Tercipta karena Tuhan. Kemajemukan dikehendaki Tuhan”. Maka tidak sepantasnya manusia mempertentangkan masalah kemajemukan dalam keberagaman.
                Sebagai catatan terakhir, menentang konversi terorganisasi tidak berarti seseorang harus menentang diskusi dan bahkan debat dalam masalah-masalah keagamaan. Para misionaris biasanya menyasar yang tidak berpendidikan dan bekerja dibelakang layar. Mereka tidak mencoba untuk menciptakan pertukaran pandangan- pandangan bahkan debat secara adil. Mereka takut terekspose. Pada kenyataannya sebuah debat tentang masalah-masalah keagamaan adalah penting untuk menghadapi masalah-masalah diakibatkan oleh kegiatan misionaris. Misionaris-misionaris biasanya menghindar untuk menghadapi debat yang fair tentang agama dan menyasar mereka yang tidak terlalu terampil pada keyakinan-keyakinannya sendiri.
               Melebihi semuanya saat ini kita perlu sebuah dialog keagamaan yang nyata, sehingga konflik keagamaan, yang memiliki sedemikian potensi untuk kekerasan, tidak muncul. Dialog ini seharusnya menjadi sebuah pencarian kebenaran. Ia tidak diarahkan untuk membuktikan satu agama sebagai yang utama tetapi pada penelitian masalah-masalah tertinggi kehidupan. Apakah tujuan hidup? Apakah sifat hakiki kekekalan? Adakah surga atau neraka permanen? Adakah penyadaran- diri atau Nirwana? Apakah pencerahan? Apakah karma? Apakah jiwa memiliki satu atau banyak kehidupan? Apakah keadaan tertinggi kesadaran dan bagaimana kita dapat mencapainya? Latihan-latihan apa diperlukan untuk mengubah sifat alami manusia dari yang egois ke sifat ketuhanan? Dapatkah semata-mata keyakinan mentransformasikan kita atau apakah ilmu pengetahuan dan kerja juga diperlukan? Apakah teknik khusus pikiran-fisik membantu? Bagaimana agama-agama berbeda memandang masalah-masalah ini? Ini adalah masalah-masalah nyata dari dialog keagamaan. Semata-mata membuat seseorang mengubah keyakinannya tidak menyentuh masalah- masalah rumit dan mendalam ini. Agama sejati memerlukan kerja dan penyelidikan yang mendalam, terutama atas pikiran dan hati kita. Ia bukan semata-mata soal nama-nama, slogan-slogan atau label-label.
               Dalam satu maksud, orang-orang Hindu memang kehilangan banyak dengan mengubah ke agama seperti Kristen dan Islam. Agama Hindu memiliki ruang jauh lebih luas atas kegiatan-kegiatan spiritual dan yoga, filsafat dan ajaran-ajaran sifat ketuhanan daripada yang dimiliki Kristen. Begitu seorang Hindu menjadi Kristen ia kehilangan hal-hal ini dan masuk kedalam bentuk yang jauh lebih terbatas dan mengarah ke luar dari keyakinan agama? Ajaran-ajaran Hindu tentang kesadaran lebih tinggi, penyadaran-diri, karma, kelahiran kembali, chakra-chakra, dan kundalini hampir tidak dikenal dalam Kristen atau ditolak sebagai karya setan. Itulah sebabnya begitu banyak orang-orang Amerika yang mencari sebuah jalan spiritual tertarik pada pelajaran-ajaran berdasar Hindu dan meninggalkan dibelakang Kristen ortodoks dan arus utama.
               Pada kenyataannya Kristen terus menurun di Barat. Sangat sedikit orang-orang baru mengambil peran-peran sebagai pengurus-pengurus keagamaan atau suster- suster di Gereja Katolik, sebagai contoh. Sebagian untuk meningkatkan kembali tingkatan-tingkatan, Gereja Katolik telah mentargetkan Asia dan, terutama India, untuk konversi karena orang-orang Hindu demikian berbakti dan dengan mudah mengambil peran sebagai petugas keagamaan dan pengurus tempat keagamaan. Sementara itu Kristen Evangelis menyasar India untuk melawan pengaruh ajaran- ajaran berlandaskan Hindu di Amerika, yang mana mereka alami begitu menakutkan dan seringnya menyerang agama Hindu dan guru-guru Hindu sebagai agama setan. 
               Karenanya mari kita tidak lugu tentang konversi. Ia bukan soal kebebasan agama atau tentang mengangkatan sosial. Aktifitas-aktifitas konversi utama di dunia adalah bagian dari strategi-strategi yang diorganisasikan dan dibiayai dengan baik untuk memenangkan dunia untuk sebuah keyakinan tunggal keagamaan yang akan mengahiri kebebasan agama dan keanekaragaman. Dalam situasi ini adalah mudah untuk mengidentifikasi pemangsa dan korban. Kemungkinanya menjadi yang manakah anda dan yang manakah akan anda beri simpati anda?

pend

PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN

Seperti yang telah didepan bahwa dalam sebuah system pendidikan harus ada prinsip-prinsip yang membangun system pendidikan itu sendiri. Adapun untuk konsep-konsep dasar pendidikan di Indonesia ada empat pilar yang mendasari atau yang menjadi prinsip dalam system pendidikan di Indonesia. Adapun keempat pilar pendidikan yang menjadi dasar pendidikandi Indnesia yaitu:

a. Pendidikan seumur hidup didasarkan pada empat pilar belajar, yaitu:

1) Belajar untuk mengetahui

2) Belajar untuk berbuat.

3) Belajar untuk hidup bersama

4) Belajar untuk menjadi dirinya sendiri.

b. Belajar untuk mengetahui, dilakukan dengan cara memadukan penguasaan terhadap suatu pengetahu­an umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Hal ini juga berarti belajar memperoleh ke­untungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang bersedia dalam hidup.

c. Belajar untuk berbuat, tida-k hanya tertuju pada penguasaan suatu keterampilan bekerja, tetapi juga secara lebih luas berkenaan dengan kompetisi atau kemampuan yang berhubungan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Hal ini berarti juga belajar untuk berbuat dalam hubungannya dalam berbagai hubungan social orang-orang muda dan pengalaman-pengalaman bekerja yang mungkin bersifat informal, sebagai suatu hasil dari kerangka hubungan yang bersifat local atau nasional, atau formal, termasuk kursus-kursus, studi alternative dan bekerja.

d Belajar untuk hidup bersama, dilakukan melalui perkembangan suatu pemahaman tentang orang lain dan suatu penghargaan terhadap saling ketergantungan pelaksana proyek bersama dan belajar mengelola konflik dalam semangat menghargai nilai-nilai kejamakan, pemahaman bersama dan perdamaian.

e Belajar untuk menjadi dirinya sendiri, yaitu mengembangkan kepribadian dirinya sendiri dan mampu berbuat dengan kemandirian yang lebih besar, perkembangan dan tanggung jawab pribadi. Dalam hubungan ini, pendidikan harus berhubungan dengan setiap aspek dari potensi pribadi yang berupa: mengingat, menalar, rasa estetis, kemampuan-kemampuan fisik, dan keterampilan-keterampilan berkomunikasi.

f. Sistem-sistem pendidikan formal cenderung untuk menekankan pada perolehan pengetahuan yang menimbulkan kerusakan pada tipe-tipe belajar lainnya. Tetapi sekarang adalah vital untuk meyakini pendi­dikan dalam suatu bentuk yang lebih terpadu. Visi ini sebaiknya memberikan informasi dan memberi bim­bingan kepada reformasi-reformasi pendidikan di masa mendatang dan kebijaksanaan, dalam hubungannya dengan visi pendidikan dan metode-metode pendidik­an.

Selain keempat pilar tersebut, Freire seorang pendidik rakyat (popular educator) asal Brazil mengatakan setidaknya ada tujuh prinsip yang juga harus mendasari praktek pelaksanaan pendidikan. Adapun ketujuh prinsip menurut Freire yaitu masing-masimg adalah:

Pertama, mengajar bukanlah sekedar proses mengalihkan pengetahuan melainkan proses untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan bagi produksi dan konstruksi pengetahuan (baru). Karenanya,

Kedua, mengajar bukan hanya menyediakan muatannya tapi juga mengajak pelajar ’berfikir dengan tepat’, yaitu suatu kemampuan untuk tidak terlalu merasa yakin akan kepastian atau kesangsian yang niscaya. Karenanya pula,

Ketiga, pengajaran tidak akan pernah mengembangkan sebuah prespektif yang benar-benar kritis kalau hanya ’menuruti kehendak hapalan mekanis atau pengulangan irama ritmis dari partitur dan ide-ide dengan mengorbankan tantangan kreatif’.

Keempat, meski guru dan murid tidaklah sama, yang pertama dibentuk atau dibentuk ulang oleh proses mengajar, dan pada saat bersamaan pelajar membentuk dirinya sendiri pula.

Kelima, untuk itu pengajar perlu memperkenalkan pelajar pada apa yang disebut sebagai ’keketatan metodologis’, yaitu sesuatu yang dapat membuat pengetahuan umum menjadi sesuatu yang bermakna, demi munculnya pengetahuan yang otentik dan keingintahuan yang terus-menerus yang tumbuh dari kesangisan-kesangsian yang niscaya tadi. Sebab itu,

Keenam, tidak ada pengajaran tanpa penelitian dan penelitian tanpa pengajaran, karena saat proses mengajar berlangsung, pada saat yang sama si pengajar mencari sesuatu, karena ia memang selalu harus bertanya, sebagai konsekwensi dari penyerahan diri pada keniscayaan kesangsian.

Ketujuh, proses pengajaran harus menghormati apa yang diketahui murid karena praksis mengajar tidak bisa menghindar dari tuntutan pelajar akan pengakuan atas kemampuannya, keingintahuannya, dan otonomi pelajar itu sendiri. Selain itu harus juga menghargai pengetahuan rakyat, yaitu pengetahuan sosial yang dibangun dalam praksis kehidupan masyarakat sehari-hari. Bagi Freire, ’berfikir benar adalah bertindak benar... tidak ada berfikir benar yang dapat dipisahkan dari jenis praktek yang padu, hidup, yang mampu merumuskan kembali muatan dan paradigma, ketimbang sekedar membantah apa yang dianggap tidak lagi relevan’.

2.2 Pendidikan Seumur Hidup

A. AKTUALITA PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

Banyak ahli pendidikan di berbagai mancanegara menyadari pendidikan, terutama sekolah (formal), kurang mampu memenuhi tuntutan ke hidupan. Karena itu, dalam pertemuan internasional yang diprakarsai Badan PBB Urusan pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO), mereka sepakat soal perlunya pendidikan seumur hidup.

Munculnya istilah ini, dalam dunia pendidikan, banyak menimbulkan dorongan atau pemikiran kritis terhadap pengartian pendidikan yang telah ada. Misalnya, tujuan pendidikan adalah pencapaian ke­dewasaan, sekolahan terutama berjenjang akademik bukanlah satu-satunya sistem pendidikan, dan pendidikan hendaknya lebih menonjolkan sifatnya sebagai self initiative dan self education.

Jalur pendidikan formal memiliki banyak kelemahan jika dibandingkan dengan pendidikan nonformal. Kelemahan pendidikan formal, antara lain, terlalu menekankan pada aspek kognitif pada anak-anak didik. Anak didik seolah-olah hidup terisolasikan selama mengalami dan menjalani pendidikan.

Namun, jangan dimaknai pendidikan di sekolah formal tidak perlu. Dalam kenyataaannya pun jalur pendidikan ini tetap ada, malah semakin banyak bagai jamur di musim hujan. Hal ini disebabkan jalur pendidikan yang terlembagakan (formal), adanya keteraturan tentang perencanaaan dan pelaksanaaan pendidikan, juga memberikan rasa optimis bagi para peminatnya dengan jangka waktu yang relatif pendek.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, dan agar pendidikan seumur hidup dapat benar-benar berada dalam sistem, diperlukan aspek lain, yakni aspek horizontal. Aspek ini bermakna efisiensi pendidikan. Separti sistem persekolahan, ia akan tercapai bila memperhatikan lingkungan, misalnya keluarga, tempat bermain, tempat kerja, atau lingkungan masyarakat secara luas.

Adapun hal yang mendorong para ahli untuk mendukung adanya pendidikan seumur hidup antara lain:

a. Konsep belajar seumur hidup adalah kunci yang memberikan jalan bagi abad 21. konsep tersebut berjalan dari perbedaan tradisional antar pendidikan awal dengan pendidikan berkelanjutan.

b Dalam pengibaratan yang baru, pendidikan berke­lanjutan dipandang sebagai yang berlangsung jauh keluar dari apa yang tidak dipraktekkan, terutama di negara-negara sedang berkembang, yaitu upgrading, dengan pelatihan penyegaran, pelatihan ulang dan konversi atau kursus promosi untuk orang-orang de­wasa. hal tersebut haruslah membuka kesempatan-­kesempatan belajar untuk semua, untuk tujuan-tujuan yang berbeda-beda.

c. Secara singkat, belaJar seumur hidup harus memberikan kemampuan bagi semuanya, dengan penyediaan kesempatan yang terbuka bagi masyarakat.

B. PENDIDIKAN DIDUNIA BERKEMBANG

Di negara-negara berkembang, kompleksitas pendidikan bisa kait-mengait antara sistem, kurikulum, dukungan ekonomi, dan lain-lain sehingga sering mengaburkan prinsip, tujuan atau bahkan sistem pendidikan itu sendiri. Sehingga sistem dan tujuan pendidikan sering disalahartikan dan disalahgunakan.

Adanya pendidikan seumur hidup, merupakan sebuah angin segar apabila kita mengamati pada beberapa asas yang melekat (inheren) pada gagasan pendidikan seumur hidup itu sendiri. Seperti sistem pendidikan semakin demokratis, pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup, dan pengintegrasian sekolah dengan kehidupan di lingkungan masyarakat.

Hanya, bisa saja angin segar pendidikan seumur hidup menjadi angin surga alias utopia baru dalam bidang pendidikan, apabila hanya sebatas konsep tanpa implementasi. Konsepsi pendidikan seumur hidup di Indonesia telah beberapa kali tercantum dalam GBHN, tapi implementasinya sering berubah-ubah. Konsep di dalam GBHN masih amat luas pengartiannya, sehingga sering terjadi "keluwesan" menafsirkan yang berbeda.

Misalnya dalam mengambil sikap antara beberapa pengartian pendidikan satu jalur (single track) dan pendidikan multijalur (multitrack). Demikian pula dengan pendidikan yang bersifat akademik ilmiah dan operasional-teknik, maupun antara pendidikan formal dan nonformal.

Asas pendidikan seumur hidup yang mengandung kemungkinan diversifikasi sistem pendidikan, tampaknya konsepsi satu jalur kurang begitu tepat dan efektif. pendidikan satu jalur baru lebih efektif bila wajib belajar lebih tinggi dari yang ada sekarang.

C. URGENSI PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

Drs H Fuad Ihsan (1996:44-45) dalam buku Dasar-dasar Kependidikan, menulis beberapa dasar pemikiran --ditinjau dari beberapa aspek-- tentang urgensi pendidikan seumur hidup, antara lain: Aspek ideologis, setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, meningkatkan pengetahuan dan menambah keterampilannya. pendidikan seumur hidup akan membuka jalan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi diri sesuai dengan kebutuhan hidupnya.

Aspek ekonomis, pendidikan merupakan cara yang paling efektif untuk dapat keluar dari “Lingkungan Setan Kemelaratan” akibat kebodohan. pendidikan seumur hidup akan memberi peluang bagi seseorang untuk meningkatkan produktivitas, memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimilikinya, hidup di lingkungan yang menyenangkan-sehat, dan memiliki motivasi dalam mendidik anak-anak secara tepat sehingga pendidikan keluarga menjadi penting.

Aspek sosiologis, di negara berkembang banyak orangtua yang kurang menyadari pentingnya pendidikan sekolah bagi anak-anaknya, ada yang putus sekolah bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali. pendidikan seumur hidup bagi orang tua merupakan problem solving terhadap fenomena tersebut. Aspek politis, pendidikan kewarganegaraan perlu diberikan kepada seluruh rakyat untuk memahami fungsi pemerintah, DPR, MPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tugas pendidikan seumur hidup menjadikan seluruh rakyat menyadari pentingnya hak-hak pada negara demokrasi.

Aspek teknologis, pendidikan seumur hidup sebagai alternatif bagi para sarjana, teknisi dan pemimpin di negara berkembang untuk memperbaharui pengetahuan dan keterampilan seperti dilakukan negara-negara maju. Aspek psikologis dan pedagogis, sejalan dengan makin luas, dalam dan kompleknya ilmu pengetahuan, tidak mungkin lagi dapat diajarkan seluruhnya di sekolah. Tugas pendidikan sekolah hanya mengajarkan kepada peserta didik tentang metode belajar, menanamkan motivasi yang kuat untuk terus-menerus belajar sepanjang hidup, memberikan keterampilan secara cepat dan mengembangkan daya adaptasi. Untuk menerapkan pendidikan seumur hidup perlu diciptakan suasana yang kondusif.

RENUNGAN

MENGUBAH CACIAN JADI KEKAGUMAN

MENJADI besar tanpa penderitaan sekaligus cacian orang, itulah
kemauan banyak sekali anak muda. Dan kalau memang kehidupan seperti
itu ada, tentu ada terlalu banyak manusia yang juga menginginkannya.
Sayangnya wajah kehidupan seperti ini tidak pernah ada. Sehingga
jadilah cita-cita menjadi besar tanpa penderitaan hanya sebagai
khayalan manusia malas yang tidak pernah mencoba.

Ini serupa dengan khayalan seorang sahabat Amerika yang bertanya:
kenapa Yesus tidak lahir di Amerika di abad ke-21 ini? Rekan lainnya
sesama Amerika menimpali sambil bercanda: memangnya ada wanita
Amerika yang masih perawan? Namanya juga canda, tentu tidak
disarankan untuk memikirkannya terlalu serius. Apalagi tersinggung.
Namun bercanda atau tidak, serius atau sangat serius, kisah-kisah
manusia kuat dan terhormat hampir semuanya berisi kisah-kisah penuh
cacian sekaligus penderitaan. Sebutlah deretan nama-nama mengagumkan
seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama.
Semuanya dibikin kuat sekaligus terhormat oleh penderitaan.

Mandela menjadi kuat dan terhormat karena puluhan tahun dipenjara,
disakiti serta diasingkan. Sekarang, ia tidak saja dihormati dan
disegani namun juga menjadi modal demokrasi yang mengagumkan bagi
Afrika Selatan. Gandhi besar dan menjulang karena terketuk amat dalam
hatinya oleh kesedihan akibat diskriminasi dan penjajahan. Dan yang
lebih mengagumkan, tatkala perjuangannya berhasil, ia menolak memetik
buah kekuasaan dari hasil perjuangannya yang panjang, lama sekaligus
mengancam nyawa.

Dalai Lama apa lagi. Di umur belasan tahun kehilangan kebebasan.
Menginjak umur dua puluhan tahun kehilangan negara. Dan sampai
sekarang sudah hidup di pengungsian selama tidak kurang dari empat
puluh lima tahun. Setiap hari menerima surat sekaligus berita
menyedihkan tentang Tibet. Lebih dari itu, negaranya Tibet sampai
sekarang kehilangan banyak sekali hal akibat masuknya pemerintah Cina.
Namun sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, daftar-daftar
kesedihan Dalai Lama ini sudah berbuah teramat banyak. Menerima
hadiah nobel perdamaian di tahun 1989. Setiap kali berkunjung ke
negara-negara maju disambut lebih meriah dari penyanyi rock yang
terkenal. Karya-karyanya mengubah kehidupan demikian banyak orang.
Sampai dengan julukan banyak sekali pengagumnya yang menyimpulkan
kalau Dalai Lama hanyalah seorang living Buddha.

Hal serupa juga terjadi dengan tokoh wanita mengagumkan bernama Evita
Peron. Belum berumur sepuluh tahun keluarganya berantakan karena
ayahnya meninggal. Kemudian menyambung kehidupan dengan cara menjadi
pembantu rumah tangga. Bosan jadi pembantu kemudian menjadi penyanyi
bar. Dan bahkan sempat diisukan miring dalam dunia serba gemerlap
ini. Pernikahannya dengan Juan Peron tidak mengakhiri penderitaan,
malah menambah panjangnya aliran sungai air mata. Namun kehidupan
Evita Peron demikian bercahaya. Tidak saja di Argentina ia bercahaya,
di dunia ia juga bercahaya.

Salah satu guru meditasi mengagumkan di Amerika bernama Pema Chodron.
Tidak saja bahasanya sederhana, pengungkapan idenya juga mendalam.
Namun kekaguman seperti ini juga berawal dari kesedihan mendalam.
Sebagaimana yang ia tuturkan dalam When Things Fall Apart, perjalanan
kejernihan Pema Chodron mulai dengan sebuah kesedihan yang tidak
terduga:

suaminya mengaku jatuh cinta pada wanita lain dan minta segera cerai.
Bagi seorang wanita setia, tentu saja ini seperti petir di siang
bolong. Namun betapa menyakitkan pun beritanya, hidup harus tetap
berjalan.

Dari sinilah ia belajar meditasi dari Chogyam Trungpa. Dan ini juga
yang membukakan pintu kehidupan yang mengagumkan belakangan. Sehingga
di salah satu bagian buku tadi, Chodron secara jujur mengungkapkan
kalau mantan suaminya yang di awal seperti mencampakkan hidupnya,
ternyata seorang pembuka pintu kehidupan yang mengagumkan.

Cerita Thich Nhat Hanh lain lagi. Tokoh perdamaian asli Vietnam ini
mengalami banyak sekali pengalaman getir ketika perang Vietnam. Kalau
soal hampir mati, atau hampir diterjang peluru panas sudah biasa.
Namun tatkala membawa misi perdamaian ke Amerika, ternyata pemerintah
Vietnam melarangnya kembali ke Vietnam. Dan sejak puluhan tahun yang
lalu Thich Nhat Hanh bermukim di Prancis. Dan penderitaan serta
kesedihan-kesedihan yang mendalam ini juga yang membuat nama Hanh
demikian dikenal dan menjulang. Pernah dinominasikan sebagai pemenang
hadiah Nobel perdamaian, dihormati di banyak sekali negara, dan karya-
karyanya lebih dari sekadar mengagumkan.

Daftar panjang tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat, yang dibuat
besar oleh penderitaan dan cacian orang masih bisa diperpanjang.
Namun semua ini sedang membukakan pintu kehidupan yang amat berguna:
penderitaan dan cacian orang ternyata sejenis vitamin jiwa yang
membuatnya jadi menyala.
Ini mirip sekali dengan judul sebuah buku
indah yang berbunyi: Pain, the Gift that Nobody Want. Rasa sakit,
penderitaan, cacian orang hampir semua manusia tidak menghendakinya.
Tidak saja lari jauh-jauh, bahkan sebagian lebih doa manusia memohon
agar dijauhkan dari penderitaan, cacian sekaligus rasa sakit.

Namun daftar panjang kisah manusia seperti Dalai Lama, Pema Chodron
sampai dengan Thich Nhat Hanh ternyata bertutur berbeda. Hanya
manusia-manusia yang penuh kesabaran dan ketabahan untuk tersenyum di
tengah cacian dan penderitaan, kemudian jiwanya menyala menerangi
kehidupan banyak sekali orang.

Ternyata, penderitaan dan cacian orang – di tangan manusia-manusia
sabar dan tabah – bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman
orang kemudian. Persoalannya kemudian, di tengah-tengah sebagian
lebih wajah kehidupan yang serba instant, punyakah kita cukup banyak
kesabaran dan ketabahan?

disunting dari GEDE PRAMA

RENUNGAN


MEMAAFKAN ITU MENYEMBUHKAN

Kolam kebencian tidak bertepi, mungkin itu sebutan yang cocok untuk tahun 2001. Ada kebencian terhadap Amerika karena menyerang Afghanistan, ada kebencian terhadap Osama karena dituduh menghancurkan gedung WTC New York, ada kebencian terhadap pemerintah karena tidak menunjukkan kinerja yang meyakinkan, ada kebencian terhadap DPR karena tidak habis-habisnya dilanda skandal, ada kebencian terhadap suku atau agama lain karena terlibat perang dan kerusuhan, ada kebencian terhadap pengusaha besar karena dicurigai mencuri uang negara, ada kebencian terhadap oknum aparat yang tidak berhenti-berhenti korupsi, dan masih banyak lagi daftar kebencian lainnya.

Apa yang bisa diproduksi oleh kebencian ? Kita bisa lihat sendiri disamping pengangguran yang berjumlah puluhan juta orang, juga secara amat meyakinkan kita sedang memproduksi masa depan yang amat menakutkan. Tidak hanya pernikahan yang beranak pinak, kebencian bahkan bisa menghasilkan anak, cucu, cicit dengan wajah-wajah yang lebih menakutkan. Lihatlah sejarah, di sana sudah tertulis banyak sekali catatan tentang kebencian yang beranak pinak, dan kemudian menghasilkan kehidupan yang mengerikan.

Mirip dengan sebuah cerita Zen tentang dua orang pendeta yang mau berenang menyeberangi sungai. Tiba-tiba ada wanita cantik yang berteriak di belakang meminta digendong. Dan pendeta lebih tuapun menyanggupinya. Dua jam setelah kejadian itu berlalu, pendeta yang lebih muda bertanya : ‘kenapa abang sebagai pendeta mau menggendong wanita cantik tadi ?’. Dengan sedikit kesal pendeta tua berucap : ‘saya sudah menurunkan tubuh wanita tadi dua jam yang lalu, namun kamu menggendongnya sampai dengan sekarang’.

Demikianlah cara kerja kebencian. Oleh karena sebuah atau beberapa kejadian yang sudah lewat di masa lalu – sebagian bahkan sudah lewat ratusan tahun yang lalu – sebagian orang menggendong kebencian bahkan sampai ketika dipanggil sang kematian. Sehingga praktis seumur hidup orang-orang seperti itu isi waktunya hanya kebencian, kebencian dan hanya kebencian. Anda pasti sudah tahu sendiri akibat yang ditimbulkan oleh semua itu. Jangankan doa dan perjalanan menuju Tuhan, tubuh dan jiwanya sendiri pasti dikunjungi berbagai macam penyakit.

Dalam keadaan begini, tidak ada pilihan lain terkecuali belajar dan mendidik diri untuk melupakan kebencian serta mulai memaafkan orang lain. Ya sekali lagi memaafkan orang lain. Inilah sebuah kegiatan yang amat sulit di zaman ini. Berat, sulit, tidak mungkin, tidak bisa itulah rangkaian stempel yang diberikan kepada seluruh upaya untuk memaafkan orang lain. Saya bahkan menemukan orang-orang dengan beban tidak bisa memaafkan dalam jumlah yang tidak terhitung.

Sehingga ini semua menyisakan pekerjaan rumah yang besar bagi saya (dan mungkin juga Anda), terutama bagaimana berjalan dalam hidup dengan sesedikit mungkin beban kebencian.
Di titik ini, mungkin ada manfaatnya mengutip apa yang pernah ditulis Rabindranath Tagore dalam The Heart of God : ‘when the far and the near will kiss each other, and life will be one in love’. Bila yang jauh berciuman dengan yang dekat, maka kehidupan menyatu dalam cinta. Mungkin kedengarannya puitis sekaligus mengundang alis berkerut.

Yang jauh, setidaknya menurut saya, adalah kejadian-kejadian di masa lalu sekaligus harapan-harapan kita akan masa depan. Yang dekat adalah kehidupan kita yang riil dan nyata di hari ini. Dan keduanya tidak mungkin disatukan oleh kebencian. Ia jauh lebih mungkin dijembatani oleh kesediaan untuk memaafkan. Dan dari sinilah lahir bibit-bibit unggul cinta buat sang kehidupan.

Dan bibit-bibit unggul cinta ini, mungkin saja bisa menyembuhkan orang yang dimaafkan. Tetapi yang jelas, kegiatan memaafkan pasti menyembuhkan siapa saja yang mau dan rela memaafkan. Seperti baru saja meletakkan beban berat yang lama tergendong di bahu, demikianlah rasanya ketika kita rela memaafkan orang lain. Keyakinan ini bukannya tanpa bukti, Bernie Siegel dalam karya best seller-nya yang berjudul Love, Medicine and Miracles mengajukan sebuah bukti meyakinkan. Sebagaimana ia tulis secara amat percaya diri di halaman 202 bukunya, Siegel telah mengkoleksi 57 kasus keajaiban kanker. Di mana ke lima puluh tujuh orang ini sudah positif terkena kanker, dan begitu mereka menghentikan secara total dan radikal kebencian, depresinya menurun drastis, dan yang paling penting tumornya mulai menyusut.
Sebagai kesimpulan, Siegel menulis : ‘when you give love, you receive it at the same time. And letting go of the past and forgiving everyone and everything sure helps you not to be afraid’. Ketika Anda memberi maaf, Anda juga menerimanya pada saat yang sama. Dan kesediaan untuk melepas masa lalu dengan cara memaafkan, secara meyakinkan membantu Anda keluar dari kekhawatiran.

Dan mohon dicatat kalau kesimpulan ini datang dari Berni Siegel yang nota bene salah seorang ahli bedah di Amerika sana. Kembali ke cerita awal tentang lautan kebencian yang tidak bertepi, bila kita sepakat agar republik ini secepat mungkin mengalami penyembuhan, bisa jadi saran Siegel ini layak direnungkan kembali. Saya dan Anda mungkin bukan penentu di republik ini, tetapi kita bisa memulainya dengan kehidupan kita masing-masing. Entah itu memaafkan isteri, suami, musuh, diri sendiri, atau siapa saja. Seperti telah diingatkan Rabindranath Tagore, bukankah itu bisa membuat sang kehidupan menyatu dalam cinta ?

disadur dari GEDE PRAMA