Halaman

Kamis, 21 Oktober 2010

Vedanta bagi Manusia Global

Upanishad-Upanishad membentuk dasar dari falsafah Vedanta. Vedanta merupakan dasar kebudayaan India. Ia adalah filosofi nasional India. Ia merupakan Mokshasastra atau Pengetahuan Emansipasi. Absolutisme merupakan titik temu dari filsafat Vedanta. Vedanta berpegang pada realitas Jiva yang tidak kasat-indriya, bersifat imanen dan transenden. Ia bukannya mengecualikan materi. Ia tidak mengecualikan apapun. Kesatuan dari semua keberadaan, adalah apa yang diajarkan oleh Vedanta. Ia telah menjaga masyarakat Hindu untuk tetap hidup hingga kini. Vedanta adalah satu-satunya filosofi yang dengan lancang menyebut Tuhan secara langsung, dan bukannya hanya menyebut anak Allah ataupun hamba Tuhan. Ia memproklamasikan dengan penekanan pada, bahwa sesungguhnya Andalah Keabadian itu; semuanya terlingkupi oleh Atman, Jiwa Universal atau esensi dari Brahman Yang Agung.

Kepolosan adalah ciri kunci dari Vedanta. Pesan-pesan yang tersampaikan dalam Vedanta membebaskan dari ketakutan, dan menghantarkan pada kebangkitan kekuatan-jiwa dan penyatuan kesadaran. Vedanta tidak mensyaratkan konversi ataupun proselitasi, namun penelusuran kembali secara mendalam terhadap paradigma manusia-ilahi (divine-human), sebuah pertanyaan balik dari setiap makhluk hidup: "Apakah saya sebenarnya? Apakah Diri-Jati saya?" Vedanta memproklamasikan: "Manusia, secara esensial, identik dengan Sang Makhluk Agung." Vedanta menekankan bahwa kesamaan identitas diri dengan seluruh manusia. Menurut Vedanta, tiada makhluk asing di dunia ini. Setiap orang terkait-erat satu dengan yang lainnya dalam Jiva. Dalam Vedanta, tiada yang disebut sebagai milik-ku dan untuk-ku; namun milik kita dan untuk kita; dan pada akhirnya, Milik-Nya dan untuk-Nya.  Apabila falsafah Vedanta dipahami dengan baik serta diimplementasikan, ia akan memusnahkan segala bentuk kejahatan yang ditimbulkan oleh prasangka rasial dan pengelompokan. Vedanta bukanlah krida atau pernyataan kebulatan tekad, bukan juga sekedar seremoni atau bentuk-bentuk kebaktian. Ia adalah pengetahuan tentang kebajikan hidup. Ia bukan semata-mata monopoli umat Hindu atau para pertapa saja. Ia untuk semua.

Vedanta tak punya pertentangan dengan agama manapun. Ia mengajarkan prinsip-prinsip universal. Vedanta-lah satu-satunya agama universal, dan abadi. Ia adalah suatu pemahaman tingkat tinggi. Ia menyatukan semua. Ia memberi keleluasaan bagi semua. Vedanta mencakup seluruh ajaran agama yang ada di dunia dan cukup kuat untuk menjadikan mereka semua bermanfaat dan bertahan.  Vedanta tidak pernah ikut campur pada bentuk-bentuk. Ia hanya berkepentingan pada kehidupan dari agama-agama itu. Kaum Kristiani tak perlu lagi menyuarakan Kristianitas-nya, Buddhis bisa tetap berpegang teguh pada Jalan Utama Beruas Delapan (Noble Eightfold Path)-nya, Muslim bisa tetap berpegang pada Quran, dan semuanya bisa memahami Vedanta serta merealisasikan semua idealisasi-idealisasi dan kebenaran-kebenaran tinggi yang dikandungnya.

Kecintaan mereka kepada para nabi dan kitab-kitab suci —yang mereka hormati— akan lebih bijak, lebih cerah, dan lebih kokoh. Rasa permusuhan atau dendam religius (religious animosity) akan musnah, dan dunia —bagi mereka— akan bergerak menuju pengakhiran dari friksi apapun; dengan tumbuhnya percaya-diri yang kuat dan itikad-baik yang lebih besar kepada sesama. Vedanta berarti tanpa perbudakan. Ia memberi kebebasan pada semua. Ia tidak pernah menyalahkan siapapun sebagai yang tidak punya harapan, tidak pernah memandang siapapun sebagai terdakwa, namun mewadahi seluruh umat manusia. Vedanta adalah katolik sejati dan juga liberal dalam tampilannya. Vedanta dapat memberi komunitas modern suatu keyakinan umum, sebuah batang-tubuh dari semua prinsip-prinsip, dan sebuah disiplin moral yang bersifat umum. Ia amat ilmiah dan mengandung gugahan-gugahan yang bermanfaat, baik bagi pria maupun wanita masa kini.

Tiada filsafat yang sedemikian polos dan halusnya, sepolos dan sehalus Vedanta. Hanya Vedanta-lah yang dapat mengikis habis penderitaan manusia dan dapat menghadirkan kedamaian dan kebahagiaan abadi. Walaupun hanya sedikit pemahaman dan sedikit praktek sesuai ajaran Vedanta, dapat mengembangkan kemurahan-hati manusia untuk mencapai strata yang tinggi menuju Kesadaran Tuhan dan menyingkirkan semua jenis ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan yang bersifat keduniaan. Beberapa orang bodoh mengatakan bahwa, Vedanta hanya mengajarkan keabadian, penghapusan kebencian dan pesimisme. Ini merupakan kekeliruan besar yang amat menyedihkan. Vedanta tidak mengajarkan baik imortalitas ataupun berbeda dengan mortalitas. Vedanta mengarahkanmu pada penghancuran Moha atau cinta yang berdasarkan keakuan dan kenafsuan ragawi, dan mengembangkan kemurnian-batin, cinta-kasih kosmis yang tanpa pamerih maupun kemurahan-hati ilahi yang penuh kasih.

Vedanta tidak pernah mengajarkan pesimisme, sebaliknya mengajarkan puncak dari optimisme. Ketidak-bermoralan merupakan suatu kekeliruan dalam mengembangkan kehidupan. Bila seseorang dapat makan di hotel manapun di belahan bumi manapun juga, jika ia bisa berjalan dengan pria maupun wanita manapun, itu bukan berarti ia seorang Vedantin. Terlalu banyak omong-omong tentang Vedanta kini. Orang-orang pada bicara soal persatuan, kesatuan dan kesetaraan, akan tetapi kenyataannya mempertengkarkan sesuatu yang remeh dan tiada guna samasekali. Mereka dipenuhi iri hati dan kedengkian serta kebencian. Saya benar-benar tak dapat membayangkannya. Saya jadi kelenger.

Saya percaya pada praktek Vedanta. Saya percaya pada praktek-praktek spiritual yang solid. Saya percaya perbaikan menyeluruh dari sifat-sifat keduniaan, tanpa keduniawian dalam berbagai jenisnya. Anda mesti menjadi seorang praktisi Vedantin. Anda harus hidup dalam spirit Vedanta. Berteori dan berkhotbah hanyalah jimnastik-intelektual dan peperangan lingual. Ini belum cukup. Apa gunanya membaca terlalu banyak buku-buku Vedanta seperti: Chit-Sukhi, Khandana Khanda Khadyam, dan sebagainya itu.

Anda semestinya meradiasikan cinta-kasih pada manusia dan semua makhluk hidup. Spirit Vedanta harus mendarah-daging pada sel-sel, jaringan-jaringan, nadi-nadi, otak dan syaraf hingga ke tulang-sumsum Anda. Ia harus merupakan bahagian dan paket dari watak Anda. Anda mesti berpikir tentang kesatuan, membicarakan persatuan dan bersatu dalam berbuat demi persatuan itu sendiri. Mentari, Ganga, bunga-bunga, pohon-pohon cendana, pohon buah-buahan, sapi-sapi —semuanya mengajarkan praktek Vedanta pada dunia. Mereka hidup untuk melayani kemanusiaan dengan semangat tanpa pamerih. Matahari menyinari gubuk seorang petani dan juga istana seorang raja. Air dingin dan menyegarkan dari sungai Ganga diminum oleh semuanya. Bebungaan menebar wanginya kepada semua, tanpa mengharapkan apapun. Cendana menebar aromanya, bahkan pada orang yang menebangnya sekalipun. Semua pohon buah-buahan berprilaku dengan cara yang sama. Wahai... manusia egois, manusia bodoh ! Belajarlah pada para Vedantin dan jadilah bijak.

Vedanta tidak mengajarkan sebuah doktrin peniadaan pada upaya manusia. Ia mengharapkan Anda mengalami suatu perubahan sikap mental. Ia menginginkan suatu perubahan pada sudut pandang. Hingga kini, dunia adalah segalanya. Sejak kini, jadikanlah Kesujatian sebagai segalanya. Suatu ketika hiduplah sepasang sahabat, Ram dan Gopal. Mereka sama-sama filsof. Melalui analisa atas pertanyaan-pertanyaan diri, Ram belajar melihat Keagungan dari Sang Diri Jati Agung terefleksikan dan melingkupi semesta raya. Tetapi Gopal tetap menjadi filsof teoritis, mengutuk semesta sebagai ilusi dan impian yang hanya terdiri dari kejahatan dan sifat-sifat buruk. Suatu ketika, setelah sekian lama, Ram diundang oleh sahabatnya. Gopal mendiskusikan —berlama-lama seperti biasanya— tentang kejahatan di alam ini; tahukah Anda hadiah apa yang dibawa Ram pada sahabatnya?  Ram —setelah berpikir sejenak— mengeluarkan sebuah pecahan cermin dari dompetnya dan memberikannya pada Gopal, seraya berkata, "Inilah hadiah kecil dan tiada nilai dariku. Ia akan membantumu untuk menyadari keindahan dan kharismamu, yang tidak dapat kamu lihat tanpanya."

Gopal memperoleh suatu pelajaran yang berharga, dan sejak saat itu ia mulai memvisualisasikan dan memahami keagungan dari Diri-Jati Agung, yang terefleksi di seluruh semesta. Tiada sesuatupun yang tidak bermanfaat di dunia ini. Nir-ego ada, untuk merefleksikan dan mengagungkan Diri-Jati. Tanpa itu, bagaimana Anda dapat mengetahui eksistensi Diri-Jati? Sesungguhnya, nir-ego adalah cermin yang benar-benar merefleksikan Sang Diri-Jati, untuk disadari sepenuhnya.

Jadi, demikian pula kejahatan; ia juga sebagai cermin untuk dapat melihat kebaikan. Kehadiran para orang-orang suci akan dapat diketahui dengan mudah diantara orang-orang bodoh. Belajarlah untuk melihat kebaikan yang direfleksikan oleh kejahatan, dan katakan, "Kejahatan ada untuk mengingatkan kita pada Kebajikan; yang mudah usang ada, untuk mengingatkan kita tentang yang tak mudah usang.", demikian seterusnya.  Sesungguhnyalah, semesta untuk mengingatkan kita pada Tuhan. Belajarlah untuk tidak mengutuknya sebagai ilusi dan mimpi, namun untuk mengutilisasikannya, menjadikannya prasarana, guna dapat merasakan kehadiran-Nya selalu. Belajarlah untuk membedakan mana yang permanen dan mana yang impermanen. Lihatlah Sang Diri-Jati pada semua makhluk, pada semua objek. Berbagilah apa yang Anda miliki dengan sesama, fisik, mental, moral maupun spiritual, dengan semua. Layani Diri-Jati pada semua. Rasakanlah, ketika Anda melayani orang lain, sebagai melayani diri Anda sendiri. Cintai tetangga Anda seperti halnya Anda mencintai diri Anda sendiri. Cairkanlah semua perbedaan yang bersifat maya itu. Singkirkan semua barier yang memisahkan manusia dengan manusia. Bergabunglah dengan semua. Rangkullah semua. Hancurkan ide-jender dan ide-tubuh, dengan cara senantiasa memikirkan Diri-Jati yang nir-jender, Atman yang nir-tubuh.

Tambatkan batin Anda pada Diri-Jati ketika sedang bekerja. Inilah Vedanta praktis. Inilah esensi dari ajaran Upanishad-Upanishad dan ajaran para Rshi. Inilah kehidupan nyata, abadi dalam Atman. Jadikanlah ia sebuah praktek langsung dalam perjuangan hidup Anda sehari-hari. Anda akan memancarkan cahaya bagaikan seorang Yogi dinamis atau seorang Jivanmukta. Ini tak diragukan lagi.***

POLA PENGEMBANGAN KERUKUNAN BERWAWASAN MULTIKULTURAL DARI SUDUT PANDANGAN AGAMA HINDU

Pendahuluan 

            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bersar dengan keanekaragaman dan kemajemukan agama dan budaya yang dianut, hidup berdampingan ditengah – tengah masyarakat. Pada waktu dahulu bangsa Indonesia pernah mendapat pujian dan sanjungan dari dunia Internasional dan dijadikan model dalam hal kerukunan bagi bangsa-bangsa lain. Hal yang demikian memberikan satu penilaian bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Namun kebanggaan itu, pada akhir-akhir  ini seakan sirna dengan munculnya konflik di beberapa bagian wilayah Indonesiadalam bentuk kekerasan dan kerusuhan masa yang dibarengi dengan pengrusakan terhadap rumah – rumah ibadah. Sesungguhnyanya pemicu konflik/kerusuhan tersebut bukan dikarenakan perbedaan agama semata, melainkan lebih disebabkan oleh faktor non agama seperti faktor ekonomi, sosial, politik dan lain sebagainya.

            Kita tahun bahwa semua agama-agama yang ada mengajarkan kepada umatnya untuk tidak membuat kerusuhan dan kekerasan, nilai-nilai persatuan secara universal. Demikian juga apa yang diamanatkan Undang-Undang dasar negara kita di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 199 yang antara lain disebutkan tentang kebijakan pembangunan agama meliputi antara lain ; memamntapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spritual dan etika dalam penyelenggaraan Negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama. Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beraagama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan pendidikan agama yang baik dan benar.

            Banyak tokok-tokoh agama yang menghendaki bahwa untuk mewujudkan terjalinnya kerukunan tersebut diperlukan sikap toleransi, namun bukan hanya sekedar toleransi, tetapi lebih dikembangkan lagi pada tahap apresiasi yang artinya penghargaan dan penghormatan, bahkan mungkin pengakuan terhadap kebenaran dan keselamatan juga ada pada agama yang lain

            Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu keadaan yang harmonis atau interaksi harmonis di dalam individu-individu pemeluk agama, dimana tiap-tiap individu penganut agama mau hidup saling hormat menghormati, percaya mempercayai sehingga dalam hubungan interaksi terciptalah suasana yang selaras, tenteram, rukun dan damai

 
 

Dasar Dasar Kerukunan dalam ajaran Hindu

            Weda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hidu maka ajaran Weda diyakini dan dipedomani oleh umat Hidu sebagai satu satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam hidup dan kehidupan. Diyakini sebagai kitba suci karena sifat isinya dan yang menurunkannya adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang Maha Suci. Dari kitab suci Weda, mengalirkan ajaran Weda kepada kitab-kitab Smerti (Manawadarmasastra), Itihasa, Purana, Kitab-kita Agama, Tantra, Darsana dan Tattwa-tattwa yang ada di Indonesia. Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia dan setelah meninggalnya nanti. Weda menuntun hidup umat manusia, menuntut hidup manusia dalam bermasyarakat. Dalam kitab Manawadharmasastra disebut.

"Weda adalah sumber dar segala Dharma, yakni agama kemudia barulah Smerti, disamping sila (kebiasaan atau tingkahlaku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Weda) dan kemudian Acara yakni tradisi yang baik dari orang-orang suci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya Amatusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggung jawabkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa".

Bagaimana memupuk kerukunan hidup umat beragama menurut Hindu ? dalam konsep Hidup, ada beberapa nilai ajaran yang relevan dengan kerukunan hidup beragama yang diantaranya adalah ajaran : Tat Twan asi, Karmaphala dan Ajaran Ahimsa.

            Tatawamasi adalah merupakan ajartan sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan sebaliknya kamu adalah saya dan segala mahluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Kamu dan aku adalah bersaudara, anatara saya dan kamu sesungguhnya adalah bersaudara, hakekat atman yang menjadikan hidup antara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yang menghidupkan tubuh mahluk hidup ada;ah merupakan percikan terkecil dari Tuhan, Kita sama-sama mahluk ciptaan Tuhan.

            Ajaran Tattwamasi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Tattwamasi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalin hubungan yang serasi atas dasar saling asah, asih dan asuh diantara sesama mahluk hidup.

"Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada Brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap mahluk hidup lainnya, orang yang hinapapa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang lain terhadap dirimu, perbuatan orang sadhu hendaknya sebagai balasannnya, janganlah sekali-sekali membalas dengan perbautan jahat, sebab orang yang berhasrat kejahatan itu pada hakekatnya akan mengahncurkan dirinya sendiri" (Sarasamuccaya 317)

            Nilai kerukunan juga termuat dalam ajaran Tata Susila Hindu. Tata Susila merupakan ajaran pengendalian diri dalam pergaulan hidup. manusia sebagai mahluk sosial, ia tidak hidup sendian, ia selalu bersama – sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup bersama – sama dengan orang lain. Hanya dalam hidup bersama, manusia dapat berkembang dengan wajar. Untuk mewujudkan keselarasan dan kerukunan sebagaimana dimaksud, maka ajaran Tata Susila diapresiasikan dalam bentuk ajaran Tri Kaya Parisuda yang artinya tiga prilaku manusia yang disucikan :

1.      Manachika Parisudha, yaitu berpikir yang baik dan benar

2.      Wacika Parisudha, yaitu berkata yang baik dan benar

3.      Kayika Parisudha, yaitu yang berbuat baik dan benar

Jika ketiga hal diatas dapat dikendalikan dengan baik dan benar, maka dengan sendirinya kerukunan sesama mahluk ciptaan Tuhan itui dapat diwujudkan dalam hidup ditengah – tengah masyarakat yang majemuk.

            Lebih lanjut, nilai kerukunan dapat dilihatdalam ajaran tentang karma Phala. Keyakinan tentang Karma Phala tertuang dalam Sradha yang kelima dari lima Sradha dalam ajaran hindu. Apa yang diperbuat oleh manusia akan menghasilkan akibat dari perbuatannya. Ada akibat yang baik dan ada akibat yang buruk. Akibat dari perbuatan yang baik memberikan rasa senang dan akibat yang buruk memberikan kesusahan ataupun penderitaan. Oleh karena itu ajaran hindu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat yang baik. Karma Phala sebagai hukum sebagai akibat dapat dijadikan suatu pedoman dalam menjalin kerukunan.

            Ajaran Ahimsa merupakan salah satu bentuk penerapan nilai – nilai kerukunan antar umat beragama dari sisi pandang hindu. Ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti mahluk lain adalah kebajikan yang utama atau dharma yang paling tinggi . ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan. Jika melanggar hukum alam, maka akibatnya alam akan berbalik melanggar orang yang melangarnya. Prilaku yang bersifat pengrusakan, mengancam, membakar emosi dan semacamnya bertentangan dengan prinsip Ahimsa karma, termasuk didalamnya menyakiti hati orang lain atau atau agama orang lain yang niatnya tidak baik, maupun kata – kata yang kasar, pedas dan mengupat. Bila perbuatan ini terjadi maka terhambatlah usaha untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. 

Pengembangan Kerukunan Yang Berwawasan Multikultural.

            Weda sebagai kitab suci agama hindu diyakini bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diwahyukan melalui pendengaran suci para maba rsi pada zaman dahulu. Weda diyakini oleh umat hindu sebagai " anadi – ananta " yakni tidak berawal.atau tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang zaman. Agama hindu adalah agama yang mengajarkan ajaran yang universal. Ia memberikan kebebasan kepada penganut – penganutnya untyuk menghayati dan merasakan sari – sari ajarannya. Penganut hindu tidak hanya menghafalkan apa yang diajarkan kitab sucinya tetapi juga menerapkannya dalam aspek kehidupan sehari – hari. Dengan sifatnya yang universal, maka agama hindu bukanlah agama untuk satu golongan atau bangsa saja. Semua ajaran hindu bernafaskan weda., walaupun seringkali dalam bentuknya yang lain. Semangat ajaran weda meresapi seluruh ajaran hindu. Ia laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai – suangi yang panjang, sepanjang abad melalui daeraha – daerah yang sangat luas. Karena panjangnya masa, luasnya daerah yang dilalui, wajahnya dapat berubah namun intisari ajarannya selalu sama. Pesan – pesan yang disampaikan adalah kebenaran abadi yang berlaku kapanpun dan dimanapun berada.

            Dalam agama hindu antara agama dan kultur ( budaya ) masyarakat terjalin suatu hubungan yang selaras dan saling mempengaruhi. Karena tidak jarang dalam dpelaksanaan agama terkait dengan pelaksanaan budaya masyarakat setempat. Apabila kita menoleh kembali pada awal masuknya hindu ke Nusantara, maka jelas bagi kita bahwa hindu membawa misi yang damai tanpa merusak budaya masyarakat yang dilaluinya, namun hindu dapat memperkaya nilai - nilai budaya setempat, sehingga ajaran hindu dengan mudah dapat diserap dan dapat berkembang serta mencapai puncak kejayaannya pada kejayaan kerajaan maja pahit di jawa timur. Tumbuh dan berkembangnya budaya suatu daerah dapat dijadikan sebagai warna tersendiri sebagai lapisan paling luar dari agama hindu, namun inti dari keyakinan hindu itu sendiri tetap sama pada setiap daerah. Kalau dilihat dari fakta sejarah, wujud dari budaya agama itu dari zaman ke zaman mengalami perubahan bentuk, namun tetap memiliki konsep yang konsisten artinya prinsip ajaran agama itu tidak berubah yaitu bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi Wasa itulah yang mengilhami tumbuh dan berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan variasi bentuk budaya agama. Penghayatan kepada tuhan dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai – nilai budaya. Dan salah satu pola yang dikembangkan adalah melalui budaya agama. Budaya agama dikembangkan lagi melalui pendalaman sastra – sastra yang dituli8s oleh para tokoh –tokoh agama ( Para Maha Rsi, para Rakawi, Bhagawan dll ) yang bersumber dari kitab – kitab weda. Budaya agama melahirkan upacara agama. Dengan pelakdsanaan budaya agama maka dapat dikembangkan nilai – nilai kerukunan, baik kerukunan intern umat beragama maupun kerukunan antar umat beragama.

            Dalam kata sambutan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada pembukaan Pesta Kesenian Di Bali ( PKB 27 ) hari sabtu 17 juni 2005. Presiden mengingatkan para generasi muda untuk tidak merasa rendah diri dalam mewarisi dan mengembangkan nilai – nilai tradisional yang ada dimasyarakat. Lebih lanjut dikatakan " jangan merasa rendah diri dengan warisan tradisi, meski kita tengah berhadapan dengan aneka perkembangan global belakangan ini ". Kesenian yang bersumber dari tradisi harus terus dapat diperthankan, digali dan dikembangkan ditengah – tengah arus modernisasi dan globalisasi yang terus melanda dunia. Namun presiden juga mengingatkan, dalam upaya mempertahankan nilai – nilai tradisional yang ada hendaknya hal itu tidak menjadi penghalang masyarakat Indonesia  untuk berkembang kearah modern dan maju. Masyarakat hendaknya tetap bisa menjadi masyarakat modern dengan berpijak pada warisan tradisi yang tumbuh dan berkembang diseluruh Nusantara. Dengan cara itu kita dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia apa yang menjadikan cita – cita sebagai bangsa yang beradab yang menjunjung tinggi dan menghormati nilai – nilai taradisional sebagai warisan dari kemanusiaan sejagat.

            Terakhir kami petikkan satu bait sastra hindu yang mengungkapkan bagaimana seorang pemimpin yang benar – benar menjadi suri tauladan ditengah – tengah rakyat dan bangsa. Kakawin ramayana sargah 1.3 yang artinya :

            Amat budiman ( utama ) sang raja dasaratha

            Memahami benar isi weda dan sangat bhakti kepada tuhan

            Tak pernah lupa memuja leluhurnya.

            Sangatlah mencintai ( sayang ) kepada seluruh keluarganya.

Dari petikan bait tersebut saja sudah banyak kita dapatkan nilai - nilai hidup yang bermutu tinggi dan bernilai universal. Seorang raja yang demikian sibuk dan besar tanggung jawabnya selalau meningkatkan mutu dirinya dengan mendalami kitab suci, melaksanakan sujud bhakti kepada tuhan dan para leluhur dan tidak kurang pula perhatiannya kepada pembinaan dan pendidikan kepada sekluruh keluarga dan rakyatnya. Demikian jugalah hendaknya yang harus dilakukan oleh seluruh umat manusia, sehingga kerukunan kita harapkan bukan hanya sekedar kerukunan yang semu dan hanya dimulut tetapi lebih diekspresikan didalam hidup dan kehidupan ini. Semoga dengan semakin meningkatnya kegiatan seperti yang kita laksanakan ini, kerukunan semakin dalam dan cita – cita bersama dapat diwujud nyatakan di dalam hidup ini.


 

Makna Universal Om Swastyastu

UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu. Salam umat ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta.

Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut. Umat Hindu di India umumnya mengucapkan Namaastu kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om naamo namah. Inti semua ucapan itu pada kata naama, yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat. Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah.

Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti. Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.

Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya. Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati.

Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.

Dalam Bhagawad Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.

Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.

Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika. Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.

Kata astu sebagai penutup ucapan Swastyastu itu berarti semoga. Dengan demikian Om Swastyastu berarti: Ya Tuhan semoga kami selamat. Tentu, tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini.

Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.

Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.