1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis pendidikan
telah melahirkan berbagai
aliran pendidikan yang muncul sebagai
implikasi dari aliran-aliran yang terdapat dalam
filsafat. Berbagai macam aliran filsafat
tersebut adalah idealisme,
realisme, pragmatisme. Landasan filsafat pendidikan memberikan prespektif filosofis yang seyogyanya merupakan
acuan yang dikenakan dalam menyikapi serta melaksanakan kegiatan
pendidikan. Oleh karena
itu landasan filsafat
pendidikan dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah
dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, atau displin ilmu lainnya, akan tetapi dengan
memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatanny akepada kerangka konseptual kependidikan. Hal ini untuk mencapai
tujuan pendidikan itu sendiri yang seimbang, baik dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif.
Landasan filsafat pendidikan tercermin di dalam semua keputusan serta
perbuatan pelaksanaan tugas-tugas pendidik baik instruksional maupun non instruksioanal. Filsafat memberi
rambu-rambu yang memadai
dalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan bagi guru dan tenaga pendidikan. Rambu-rambu yang dimaksud disusun
dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu pendapat ahli, termasuk yang
disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas pendidik serta pilihan nilai
yang dianut masyarakat. Rambu- rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif, normative dan kritis dirumuskan kedalam
perangkat asumsi filosofis
yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta interpretatif program
yang dimaksud.
2) Landasan Yuridis
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa. Landasan
yuridis telah banyak memberikan kontribusi landasan dalam pelaksanaan praktik pendidikan di Indonesia, sebagai
contoh adalah penerapan
UU No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
(Syarifudin, 2006). Pada pasal 33 UU tersebut mengatur mengenai bahasa pegantar pendidikan nasional Indonesia
yaitu menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bahasa asing digunakan untuk menunjang kemampuan
bahasa asing peserta didik dan bahasa daerah digunakan dapat digunakan sebagai
pengantar untuk mempermudah penyampaian pengetahuan. Pada
pasal 39, 40, 41, 42, 43, dan 44
mengatur tentang pendidik dan tenaga kependidikan, misalnya pada pasal 42 menjelaskan bahwa pendidik
harus mempunyai kualifikasi minimum
dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
3) Landasan Empiris
a)
Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologis dalam praktik pembelajaran, salah satunya dapat dilihat dari layanan pendidikan terhadap anak dibuat bertingkat berdasarkan perkembangan individu
yang bertahap baik
perkembangan biologis, kognitif, afektif maupun psikomotor, yang pada setiap perkemangannya setiap individu memiliki tugas-tugas yang harus
diselesaikannya. Contoh riil dari hal
tersebut adalah penyelanggaraan pendidikan di Indonesia yang berjenjang. Di Indonesia terdapat
pendidikan untuk anak usia dini atau PAUD, pendidikan untuk usia di bawah 6 tahun yang dimanakan
taman kanak-kanak atau TK, pendidikan sekolah dasar (SD/IT), sekolah menengah pertama (SMP/MTS), menengah atas (SMA/SMK/MA) dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta,
merupakan program pendidikan yang dihasilkan berdasarkan perkembangan peserta didik yang beragam.
b) Landasan Sosiologis
Implikasi landasan sosiologis dalam praktik pendidikan dapat tercermin melalui
adanya struktur sosial di berbagai
lingkungan pendidikan atau tri pusat pendidikan. Implikasi
landasan sosiologis di lingkungan keluarga
tercermin dengan adanya praktik pola asuh yang turun temurun dalam keluarga. Contoh
Orang tua rela berkorban membiayai pendidikan anak- anaknya agar status sosial anak meningkat. Implikasi landasan sosiologis di lingkungan sekolah terlihat
melalui adanya badan kerja sama antara sekolah
dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk wakil-wakil orang tua siswa, contoh pembentukan komite sekolah, mengundang nara sumber ke sekolah dari tokoh- tokoh penting di masyarakat seperti
ketua adat, atau ketua paguyuban. Di lingkungan masyarakat, implikasi landasan sosiologi tercermin dalam adanya proses
interaksi antar individu maupun kelompok
dan sosialisasi. Interkasi
ini menghasilkan budaya, adat dan norma yang berlaku dalam
masyarakat seperti norma susila dan
asusila. Contoh riil implikasi sosiologi dalam
pendidikan masyarakat di Indonesia adalah terdapat mata pelajaran bermuatan lokal
(Mulok) di masing-masing daerah sebagai bentuk
upaya melesetarikan budaya.
c) Landasan Historis
Salah
satu implikasi landasan
historis dalam pendidikan adalah lahirnya pancasila, sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi
dasar negara Indonesia
secara obyektif historis
telah dimiliki oleh bangsa indonesia, Sehingga asal nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila tidak lain adalah jati diri bangsa indonesia yang berjuang menemukan jati
dirinya sebagai bangsa yang merdeka
dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup. Contoh implementasi Pancasila dalam praktik
pendidikan Nasional Indonesia
adalah Pancasila merupakan
konten utama dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) di sekolah
khususnya untuk jenjang
pendidikan SMP yang mencakup dua hal yaitu pertama materi perihal status, kedudukan dan fungsi
pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegera. Kedua materi perihal isi substansi yang terkandung dalam sila-sila
pancasila. Selanjutnya contoh lain implikasi landasan historis adalah adanya
sembonyan “tut wuri handayani” yaitu semboyan dari Ki Hadjar Dewantara
sebagai salah satu peranan yang harus
dilaksanakan oleh pendidik dan dijadikan semboyan
pada logo Kementerian Pendidikan Nasional.
4) Landasan Religius
Landasan religius dalam bimbingan
dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai
“helper” pemberi bantuan
untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada klien atau peserta didik. Konselor semestinya menyadari bahwa memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada klien merupakan salah satu kegiatan yang bernilai ibadah.
Agar bantuan layanan
yang dilakukan itu bernilai ibadah harus didasarkan kepada keikhlasan dan kesabaran.
Implikasi landasan religius dalam
pendidik di sekolah tercermin melalui tugas utama guru yaitu mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik. Kegiatan
mendidik bagi guru merupakan
bagian dari ibadah, karena mendidik merupakan
kegiatan pengabdian yang secara tidak langsung tertuju kepada Tuhan YME. Tuhan menciptakan manusia tidak lain
untuk beribadah. Hal ini yang menjadi
dasar setiap pendidik dalam kehidupan sehari-hari, demikian juga dalam
mendidik anak di sekolah. Anak adalah amanah yang harus dijaga dan dididik
dengan nilai-nilai agama.
Pendidik juga memiliki
peran penting dalam membantu
membentuk kepribadian anak pada masa yang akan
datang. Contoh penerapan landasan religius di sekolah adalah (1) pemberian
mata pelajaran wajib untuk pendidikan agama, (2) guru memberikan
pengetahuan agama kepada peserta didiknya sesuai dengan agama/ kepercayaan yang dianutnya, (3) guru mengajarkan hal-hal
baik seperti berdoa sebelum dan sesudah pembelajaran, (4) mengarahkan peserta
didik untuk taat kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti
melaksanakan ibadah bersama
atau berjamaah di sekolah, (5) Melaksanakan
nilai-nilai religius di sekolah dalam pendidikan karakter dan kegiatan keagamaan
seperti kegiatan ekstrakulikuler